Waspadai Risiko Jeratan Bank Asing di Balik Divestasi Freeport
Berita

Waspadai Risiko Jeratan Bank Asing di Balik Divestasi Freeport

Ketergantungan pada dana asing dikhawatirkan bisa mengikis prinsip kedaulatan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tambang Freeport Foto: ADY
Ilustrasi tambang Freeport Foto: ADY

Kepastian pemerintah mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51 persen ditandai dengan penandatanganan perjanjian Sales and Purchase Agreement (SPA) pada Kamis (27/9) lalu. Kesepakatan tersebut merupakan lanjutan dari penandatanganan Pokok-pokok Perjanjian (Head of Agreement) antara PT Freeport McMoran Inc., perusahaan induk PTFI dan Rio Tinto sebagai pemegang saham saat ini pada Juli lalu.

Meski pemerintah mengklaim kesepakatan jual beli saham sudah tercapai, ternyata masih ada proses final yang menentukan berlansungnya divestasi ini. Proses tersebut merupakan pembayaran saham dari PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) kepada Rio Tinto dan Freeport. Nilai divestasi ini mencapai sekitar Rp56 triliun atau AS$3,85 miliar.

Besarnya nilai jual beli saham menjadi salah satu pokok perhatian publik. Sebagai calon pemegang saham, Inalum diminta berpikir keras menyediakan dana. Meski memiliki laporan keuangan yang sehat, Inalum tidak memiliki kas jumbo untuk mengakuisisi saham PTFI. Walhasil, pendanaan bersumber dari pinjaman sindikasi perbankan menjadi cara yang saat ini dipersiapkan.

Dalam konteks pendanaan ini, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menyampaikan apresiasi terhadap akuisisi 51% saham PTFI. Namun, menurut Hikmahanto, ada poin yang lebih penting dari divestasi ini yaitu dengan beralihnya izin PTFI dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus maka posisi perusahaan tidak lagi sejajar dengan pemerintah sebagaimana posisi terdahulu.

(Baca juga: IUPK Sementara Freeport Terus Berlaku Hingga Proses Divestasi Terealisasi).

“Kontrak Karya selama ini selalu diargumentasikan oleh Freeport McMoran yang memiliki mayoritas saham PT FI sebagai kesejajaran kedudukan dengan pemerintah, khususnya dalam hal peraturan perpajakan dan royalti,” kata Hikmahanto saat dikonfirmasi, Jumat (28/9/2018).

Dengan beralihnya izin tersebut maka saat ini kedudukan Freeport McMoran sejajar dengan PT Inalum. Sehingga, Freeport McMoran dan PT FI memiliki kewajiban mematuhi segala hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Hikmahanto melanjutkan keterbatasan wewenang pemerintah akibat perizinan tambah dalam bentuk KK tidak boleh berulang. Karena itu, Inalum harus transparan kepada publik mengenai bank-bank asing yang diminta untuk memberi pinjaman. “Ini penting agar Indonesia, khususnya pemerintah tidak terbelenggu kembali. Bank asing yang perlu diwaspadai adalah bank-bank plat merah (BUMN) Tiongkok (China) . Paling tidak bila ada bank plat merah China maka mereka tidak mendominasi dari bank-bank yang menyediakan fasilitas pinjaman,” kata Hikmahanto.

Tags:

Berita Terkait