Penagihan Iuran BPJS Kesehatan Harus Diawasi, Begini Alasannya
Berita

Penagihan Iuran BPJS Kesehatan Harus Diawasi, Begini Alasannya

Termasuk mengawasi kepatuhan pemberi kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES

Ada banyak asumsi yang berkembang mengenai penyebab defisitnya keuangan BPJS Kesehatan. Salah satunya, iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) belum sesuai perhitungan aktuaria. Karena itu ada yang mengusulkan kenaikan jumlah iuran.

Namun kenaikan iuran bukan satu-satunya jalan menutupi defisit. Optimalisasi penagihan kepada peserta menjadi jalan lain yang bias ditempuh. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mencatat ada sejumlah ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang perlu pengawasan ketat agar pelaksanannya sesuai harapan, antara lain terkait penagihan iuran. Perpres memerintahkan BPJS Kesehatan untuk mencatat dan menagih tunggakan iuran sebagai piutang paling banyak untuk 24 bulan. Aturan sebelumnya hanya 12 bulan. Menurut Timboel ketentuan ini harus dibarengi keseriusan Direksi BPJS Kesehatan untuk menagih iuran kepada peserta.

Begitu pula dengan Kejaksaan, dan petugas pengawas ketenagakerjaan karena Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan JKN menugaskan Menteri Ketenagakerjaan untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan pemberi kerja. Melalui Inpres itu Presiden menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan penegakan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap badan usaha, BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah.

Dalam rangka pembayaran iuran PNS pemerintah daerah dan peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) atau peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang anggarannya berasal dari APBD, Timboel menegaskan agar pembayaran iuran dilakukan secara disiplin. Butuh pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya agar tidak ada lagi pemerintah daerah yang menunggak iuran kepada BPJS Kesehatan.

(Baca juga: Ingat! 1 Januari 2019, Seluruh Penduduk Harus Masuk Program Ini).

BPJS Kesehatan harus memastikan upah yang dibayar badan usaha terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap yang diterima pekerja setiap bulan. Upaya ini perlu dibarengi dengan penegakan hukum. “Faktanya banyak selama ini perusahaan yang tidak melaporkan upah secara jujur. Biasanya ini disebut sebagai perusahaan daftar sebagian upah pekerja,” katanya di Jakarta, Selasa (2/10).

Perpres No. 82 Tahun 2018 mengamanatkan BPJS Kesehatan menjalin koordinasi dengan badan penyelenggara jaminan lainnya dalam memberikan manfaat pelayanan kesehatan. Badan penyelenggara jaminan lainnya itu meliputi BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen, PT Asabri untuk program jaminan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kemudian, PT Jasa Raharja untuk program kecelakan lalu lintas dan penyelenggara jaminan lain yang memberikan manfaat berupa pelayanan kesehatan.

Menurut Timboel pelaksanaan ketentuan itu harus diawasi ketat sehingga penyelenggara jaminan lainnya menanggung klaim untuk pesertanya, misalnya ketika pesertanya mengalami kecelakan kerja. Pengawasan perlu dilakukan karena masih banyak PNS yang belum mengetahui bahwa mereka merupakan peserta jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian yang ditanggung PT Taspen. “Karena ketidaktahuan ini pembiayaan manfaat pelayanan kesehatan untuk kecelakaan kerja PNS berpotensi ditanggung BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait