Taktik ‘Terhormat’ Menangkan Sengketa Pemilu
Resensi

Taktik ‘Terhormat’ Menangkan Sengketa Pemilu

Mempengaruhi pola pikir hakim bukanlah merupakan cara yang ilegal jika yang dijadikan alat adalah argumentasi yang menjelaskan detail kasus dengan rasionalisasi logis.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HMQ
Ilustrasi: HMQ

Haus akan kemenangan, bukan berarti harus menghalalkan segala cara melalui praktik judicial corruption (korupsi peradilan) dengan menyuap hakim dan panitera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mengerahkan calo perkara atau mafia peradilan.

 

Sekalipun pendekatan uang (money talk) maupun pendekatan kekuasaan (power intervention) marak dilakukan oleh pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan, namun ‘menang terhormat’ jelas akan sangat bernilai serta dapat terhindar dari segala resiko hukum baik ketika maupun setelah melewati proses penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Strategi ‘menang terhormat’ yang diungkapkan Denny Indrayana dalam buku ini, tak sekedar berupa strategi memperkuat argumentasi hukum di dalam sidang, namun diiringi penguatan strategi ‘di luar’ sidang seperti membangun opini positif melalui advokasi media, mendayagunakan relasi baik dengan ormas dan LSM yang tentunya tanpa melanggar garis demarkasi prinsip independensi kekuasaan kehakiman (independence of the judiciary).

 

Mempengaruhi pola pikir hakim bukanlah merupakan cara yang ilegal jika yang dijadikan alat adalah argumentasi yang menjelaskan detail kasus dengan rasionalisasi logis ‘mengapa posisi kasus kita yang harus dimenangkan’.

 

Sengaja dipersiapkan untuk menyambut tahun politik 2019, Denny menyuguhkan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan opsi halal yang bisa ditempuh para pihak tatkala dihadapkan pada 2 dari 3 ranah sengketa pemilu, yakni pemilihan presiden (pilpres) serta pemilihan anggota legislative (DPR, DPD dan DPRD), namun tak termasuk strategi pemenangan pemilukada lantaran disebut Denny akan dituangkan dalam buku tersendiri.

 

Hukumonline.com

 

Perlu diketahui, sengketa hasil pemilu merupakan perselisihan terkait hasil pemilu yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Konkritnya, hasil pemilu berbentuk jumlah suara ataupun jumlah kursi yang diperoleh oleh peserta pemilu.

 

Di Indonesia, Hasil Pilpres berdasarkan Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 memang tak sesederhana mendapatkan suara terbanyak secara nasional (popularty vited president), elected presiden pada Pasal  a quo juga dipersyaratkan memperoleh sebaran suara nasional sedikitnya ‘20% suara’ di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi.

Tags:

Berita Terkait