2 Pakar Sepakat ‘Mens Rea’ Inti Keabsahan Business Judgment Rule
Berita

2 Pakar Sepakat ‘Mens Rea’ Inti Keabsahan Business Judgment Rule

Unsur terpenuhinya perbuatan pidana harus ada niat dan perbuatan jahat yang dilakukan dengan sengaja.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Isu Business Judgment Rule (BJR) kembali mendapat sorotan hangat lantaran digunakan sebagai pembelaan oleh kuasa hukum Galaila Karen Agustiawan (Eks-Dirut Pertamina) dalam kasus korupsi dengan register perkara No.15/Pdt.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Karen dianggap telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp 568 miliar akibat kelalaiannya dalam due diligence process pada investasi di blok migas Basker Manta Gummy (BMG), Australia.

 

Salah satu alasan kelalaian Karen yang digunakan JPU, tidak menggunakan hasil uji tuntas yang dilakukan oleh tim internal, yakni PT Delloite Konsultan Indonesia (DKI) sebagai financial advisor bersama Baker McKenzie selaku Legal Advisor dalam mengawal project diamond.

 

Alasan tersebut ditampik oleh pengacara Karen dalam agenda sidang jawaban atas tuntutan JPU. Ia mengusung pembelaan melalui konsep perlindungan direksi dalam Pasal 97 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni Business Judgment Rule (BJR). Salah satu pembelaannya terkait tidak adanya unsur mens rea (niat jahat) ketika kliennya mengambil keputusan. Konsekuensinya, direksi tak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

 

Untuk itu menarik untuk diulas, apakah jika unsur ‘mens rea’ tidak terpenuhi dalam pengambilan keputusan oleh direksi dapat mengakibatkan gugurnya unsur pidana?

 

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, tegas menyebut bahwa dugaan korupsi Dirut BUMN bisa diselamatkan oleh BJR. Inti dari BJR, disebutnya memang berporos pada mens rea. Jika tersangka dapat dibuktikan tak memiliki niat jahat untuk memperkaya diri sendiri, orang lain ataupun korporasi, maka tak bisa dikatakan telah melakukan perbuatan pidana.

 

Profesor yang akrab disapa Hik itu menarik contoh berupa perbedaan penipuan dengan wanprestasi. Wanprestasi, sambungnya, sekalipun prinsipal mengalami kerugian maka pertangungjawabannya dilakukan secara perdata bukan pidana. Sedangkan pidana, untuk kasus penipuan maupun korupsi jelas harus terbukti adanya niat jahat baru dapat dikatakan memenuhi kualifikasi pidana.

 

Unsur terpenuhinya perbuatan pidana, sambungnya, harus ada niat dan/atau perbuatan jahat. Apabila ada niat dan perbuatan jahat maka terpenuhi adanya kesengajaan. Bila hanya ada perbuatan jahat namun tidak ada niat jahat berarti kelalaian. Tapi kalau niat ada tapi perbuatan tidak menghasilkan, namun ada langkah persiapan untuk itu, maka bisa disebut percobaan. " Kalau ada niat jahat dan tidak ada perbuatan jahat maka tidak bisa dikenakan," kata Hikmahanto ketika dihubungi hukumonline, Kamis (28/2).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait