Perdamaian dalam Kasus Talangsari Tak Gugurkan Pidana, Ini Alasannya
Utama

Perdamaian dalam Kasus Talangsari Tak Gugurkan Pidana, Ini Alasannya

​​​​​​​Karena kasus pelanggaran HAM berat tergolong dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada 3 praktik yang selama ini dilakukan dalam penyelesaian perkara pidana biasa untuk menghapus pidana, tapi tak berlaku bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sejumlah korban kasus Talangsari Lampung 1989 berunjuk rasa di depan Kejagung, Jakarta, Jum'at (7/02). Mereka menuntut Kejagung untuk segera melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi 25 tahun lalu dan menghilangkan 426 nyawa tersebut.
Sejumlah korban kasus Talangsari Lampung 1989 berunjuk rasa di depan Kejagung, Jakarta, Jum'at (7/02). Mereka menuntut Kejagung untuk segera melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi 25 tahun lalu dan menghilangkan 426 nyawa tersebut.

Dalam prinsip umum pidana, perdamaian tidak menggugurkan perbuatan pidana. Ini berlaku baik untuk pidana umum maupun pelanggaran HAM. Basis pelanggaran HAM adalah kebijakan, pertanyaannya kemudian dengan siapa perdamaian itu akan dilakukan? Begitu penjelasan Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam yang menegaskan perdamaian dalam kasus pelanggaran HAM tidak menghapus perbuatan pidana.

 

Belum lama ini Komnas HAM mendapat informasi ada deklarasi perdamaian dalam dugaan kasus pelanggaran HAM berat di dusun Talangsari Way Jepara Subing Putra III desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. Peristiwa Talangsari terjadi awal Februari 1989, hasil penyelidikan Komnas HAM Juli 2008 menyimpulkan paling sedikit 130 orang dibunuh oleh aparat militer. Sedikitnya 53 orang ditahan semena-mena dan mengalami penyiksaan serta 77 orang diusir paksa dari kampungnya. Penyelidikan Komnas HAM itu menyimpulkan peristiwa Talangsari tergolong pelanggaran HAM berat.

 

Anam melanjutkan, dalam perkara pelanggaran HAM berat ada kepentingan publik yang harus dijaga oleh negara. Sejauh ini belum ada upaya maksimal yang dilakukan pemerintah sebagai perwakilan negara untuk menyelesaikan kasus Talangsari. Deklarasi perdamaian ini menurut Anam sebagai upaya untuk menghindari agar perkara Talangsari tidak berproses ke pengadilan.

 

“Tidak ada ketentuan lain dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memilih jalan selain proses peradilan. Jalan lain (perdamaian,-red) yang digunakan ini merupakan upaya melawan hukum,” katanya melalui pesan singkat, Kamis (7/3).

 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan walau sebagian besar yang menandatangani deklarasi itu lembaga pemerintah tapi tidak bisa menganulir mekanisme hukum kasus Talangsari. Ia melihat inisiator deklarasi ini yakni Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM yang dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada 20 Februari 2019. Menurutnya tim ini tidak punya dasar hukum untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat.

 

Menurut Usman, sebagian pihak yang menandatangani deklarasi itu antara lain Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompida) Lampung Timur dan tokoh masyarakat Talangsari dinilai tidak merepresentasikan seluruh korban dan keluarga kasus Talangsari. Selain itu dalam deklarasi ini tidak disebut dengan jelas siapa pelaku dan korban. “Deklarasi perdamaian kasus Talangsari ini tidak punya landasan hukum,” urainya.

 

Usman menegaskan peristiwa Talangsari 1989 bukan kejahatan biasa tapi pidana internasional. Komnas HAM menegaskan ini dalam hasil penyelidikan pro yustisia kasus Talangsari. Kendati demikian Usman melihat sedikitnya ada 3 hal praktik yang selama ini dilakukan dalam penyelesaian perkara pidana biasa untuk menghapus pidana, tapi tak berlaku bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait