UU Jaminan Fidusia Perlu Direvisi Sesuai Zamannya
Berita

UU Jaminan Fidusia Perlu Direvisi Sesuai Zamannya

Karena UU Jaminan Fidusia terdapat kelemahan. Seperti pencatatan objek fidusia berdasarkan UU 42/1999 dinilai belum mampu memberikan jaminan kepastian terkait eksekusi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dua puluh tahun sudah keberadaan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Selama dua dekade UU Jaminan Fidusia tersebut memiliki peran penting dalam menunjang pertumbuhan perekonomian  masyarakat. Di sisi lain, bagi sebagian kalangan UU Jaminan Fidusia menjadi landasan hukum dalam melakukan perjanjian kredit dan bahkan memberi perlindungan hukum terhadap debitur.

 

Pernyataan itu disampaikan Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daulat Pandapotan Silitonga dalam keterangannyas kepada wartawan di Jakarta, Senin (13/5/2019). “UU Jaminan Fidusia sangat memperhatkan kepentingan debitur dengan memberi jaminan hukum, khususnya terhadap benda bergerak,” ujarnya.

 

Menurutnya, UU Jaminan Fidusia bersifat accesoir atau perjanjian tambahan yang berlaku dan sah setelah selesainya perjanjian pokok. Daulat berpandangan, jaminan yang muncul akibat perjanjian menjadi jaminan yang mesti diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Yakni, perjanjian yang mengikuti  pada perjanjian dasar. Dengan kata lain, perjanjian pokok yang menerbitkan utang, atau kewajiban, maupun prestasi bagi debitur terhadap kreditur.

 

Dia merujuk ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Pasal 14 ayat (3) menyebutkan, “Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia”. Daulat berpendapat jaminan fidusia yang belum didaftarkan, kreditur belum memiliki hak jaminan fidusia termasuk hak melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan. Hal ini memberi kepastian hukum dan perlindungan kepada para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia.

 

“Kendaraan yang sedang dikredit debitur, kreditur tidak dapat mengeksekusi. Lain hal bila debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap kendaraan yang sedang dikredit oleh debitur,” terangnya.

 

Menurutnya, kewenangan mengeksekusi dapat dilakukan kreditur sepanjang debitur melakukan wanprestasi. Tentunya dengan merujuk Pasal 1238 KUH Perdata. Pasal tersebut menyebutkan, “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

 

Terlepas dari perlindungan terhadap debitur, UU Jaminan Fidusia yang telah 20 tahun itu diperlukan pembaharuan yang relevan dengan kondisi zaman. Sebelumnya, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak berpandangan pencatatan objek fidusia berdasarkan UU 42/1999 dinilai belum mampu memberi jaminan kepastian terkait eksekusi. Dia beralasan tidak terdapat mekanisme tertentu untuk dapat mengetahui peralihan objek fidusia ke pihak ketiga, keempat, dan seterusnya.

Tags:

Berita Terkait