Implementasi Inpres Moratorium Sawit Dipertanyakan
Berita

Implementasi Inpres Moratorium Sawit Dipertanyakan

Di tengah Inpres tersebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru menerbitkan Surat Keputusan peralihan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit kepada korporasi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Diskusi
Diskusi "Ke Mana Arah Implementasi Inpres No.8 Tahun 2018 Berjalan", di Jakarta. Foto: MJR

Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit pada September lalu. Awalnya, Inpres yang menjadi tanda moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit tersebut mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan khususnya kalangan aktivis lingkungan.

 

Sayangnya, sejak Inpres tersebut dikeluarkan hingga saat ini implementasi kebijakan tersebut justru dianggap tidak jelas. Hal ini diperparah dengan adanya pelepasan kawasan hutan produksi melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018.

 

Isi SK tersebut berisi tentang pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP) seluas 9.964 hektar di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

 

Bupati Buol, Amiruddin Rauf mengkritik komitmen pemerintah pusat terhadap Inpres tersebut. Menurutnya, dengan terbitnya Inpres tersebut seharusnya tidak ada lagi kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. “Seharusnya pemerintah menjaga pelepasan lahan untuk korporat. Kebijakan (SK) Menteri KLHK ini sangat tidak berpihak kepada kami,” jelas Amiruddin saat dijumpai di Jakarta, Jumat (17/5).

 

Dia menjelaskan berdasarkan kajian yang dilakukan pihaknya menemukan risiko kekeringan lahan sawah milik masyarakat seluas 5 ribu ha dengan adanya peralihan fungsi kawasan tersebut. Selain itu, dia juga menyatakan peralihan fungsi lahan tersebut juga menyebabkan konflik sosial antara perusahaan dengan masyarakat.

 

Atas kondisi tersebut, dia meminta pemerintah membatalkan SK tersebut sebagai salah satu implementasi Inpres moratorium perkebunan kelapa sawit. “Tidak boleh hutan di Buol itu disentuh. Kebijakan ini adalah kejahatan yang dilakukan pemerintah,” pungkas Amiruddin.

 

Senada dengan Amiruddin, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware menyampaikan implementasi Inpres belum sepenuhnya berjalan optimal. Kerja-kerja di tingkat nasional selama 6 bulan ini barulah sebatas persiapan dan koordinasi antar kementerian dan belum terlihat hal teknis yang cukup berarti dilakukan. Padahal, enam provinsi dan delapan Pemerintah Kabupaten mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan Inpres ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait