Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak
Utama

Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak

Beragam persoalan yang muncul dalam penyelengaraan pemilu serentak perlu dievaluasi secara “radikal”. Adanya pengujian konstusionalitas “pemilu serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bisa menjadi bahan evaluasi bersama.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), Rabu (17/4) lalu. Namun, pelaksanaannya menyisakan sejumlah persoalan mulai dugaan pelanggaran, kesalahan prosedur administratif, hingga menelan banyak korban meninggal dunia. Dan faktanya anggaran penyelenggaraan pemilu serentak ini jauh lebih mahal ketimbang pemilu secara terpisah.

 

Sudah diperkirakan sebelumnya, sistem pemilu serentak yang pertama kali diterapkan di Indonesia merupakan pemilu tersulit/terumit karena menggabungkan antara pileg dan pilpres secara bersamaan. Pemilu model ini lazim disebut pemilu lima kotak (lima surat suara) sesuai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kecuali pelaksanaan Pemilu di DKI Jakarta. Baca Juga: MK Putuskan Pemilu Serentak Tahun 2019

 

Membahas sistem pemilu serentak, tak bisa lepas dari putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan pakar komunikasi politik Effendi Gazali Dkk. Pada Kamis 23 Januari 2014 silam, Majelis MK yang diketuai Hamdan Zoelva membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang mengatur pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg atau tidak serentak. Namun, putusan MK yang memerintahkan pemilu serentak baru bisa diterapkan pada Pemilu 2019.

 

Alasan utama MK dalam putusan ini, ditinjau sudut pandang original intent, makna asli perumus perubahan UUD 1945, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan pilpres secara bersamaan dengan pileg (pemilu lima kotak/surat suara) sesuai bunyi Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dan penafsiran sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Selain itu, pembiayaan penyelenggaraan pilpres dan pileg secara serentak akan lebih efisien dan lebih menghemat anggaran serta mengurangi gesekan horizontal masyarakat.

 

Lalu, DPR bersama pemerintah akhirnya mengakomodir putusan MK tentang pemilu serentak itu melalui Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017. Pasal 167 ayat (3) jo Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak pada hari libur atau diliburkan secara nasional. Artinya, pelaksanaan pemilu serentak menggabungkan antara pilpres dan pileg secara bersamaan.

 

Jika ditelusuri, disain pemilu serentak sebenarnya sudah disinggung dalam Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Permohonan ini diajukan Partai Bulan Bintang, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, dan Partai Republika Nusantara. Saat itu, mereka memohon pengujian Pasal 9 UU Pilpres terkait ambang batas presiden, Pasal 3 ayat (5) terkait pelaksanan pilpres yang dilaksanakan setelah pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD).

 

Dalam Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 ini, MK menolak permohonan pemohon. Namun, terdapat tiga hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar. Ketiganya berpendapat pemilu serentak dapat digelar di tingkat nasional yakni DPR, DPD dan dan Presiden serta Wakil Presiden. Sedangkan, pemilu serentak tingkat daerah untuk memilih calon anggota DPRD dan kepala daerah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait