Penarikan RUU Permusikan Menuai Kritik
Berita

Penarikan RUU Permusikan Menuai Kritik

Padahal, RUU Permusikan diperlukan yang seharusnya mengatur hal-hal di luar hak cipta dan bisa menutup celah yang terdapat dalam UU Hak Cipta.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Secara resmi Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan dalam Prolegnas Prioritas 2019 pada Senin (18/6/2019) kemarin. Alasannya, faktanya materi RUU Permusikan ini menimbulkan polemik, padahal RUU ini belum masuk pembahasan. Ada kalangan musisi yang setuju, ada kalangan musisi yang tidak setuju dengan RUU Permusikan. Namun, keputusan penarikan RUU Permusikan ini disayangkan sejumlah kalangan komunitas musisi.    

 

Wakil Ketua Bidang Hukum Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagi, dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Mohamad Kadri tidak setuju terhadap pencabutan/penarikan RUU Permusikan dari Daftar Prolegnas Prioritas 2019 nomor urut 48. “Kalau saya sih tidak setuju (penarikan RUU Permusikan),” ujar Mohamad Kadri kepada Hukumonline, Jum’at (21/6/2019). Baca Juga: Anang Hermansyah Cabut RUU Permusikan Semudah Itukah?

 

Dia menilai penarikan RUU Permusikan ini sangat merugikan niat membangun ekosistem industri permusikan. “Seharusnya pasal-pasal karet represif yang diperdebatkan saat itu diperjuangkan untuk dihapus saja dan pasal lain yang kurang sempurna direvisi dengan pasal-pasal baru yang bermanfaat,” ujarnya.

 

Sepengetahuan dia, keputusan penarikan RUU Permusikan ini didasari banyaknya ketidaksetujuan banyak pihak terutama para musisi terhadap muatan materi RUU ini. Padahal, kata Kadri, kalau masalahnya materi muatan RUU masih dapat dibicarakan dan didiskusikan lebih untuk memperbaiki materi muatan draf RUU.

 

Menurut musisi yang berlatar belakang advokat ini, seharusnya UU Permusikan mengatur hal-hal di luar yang sifatnya hak cipta. Misalnya, seperti manajemen artis, pendidikan musik, sertifikasi. “Khusus pengaturan sertifikasi memang banyak menuai kritik dari sesama musisi. Bagi guru musik misalnya, apa yang menjadi syarat untuk dapat mengajar di sekolah musik.”

 

Selain itu, pembuatan database digital nasional yang terintegrasi supaya memudahkan penjualan karya cipta digital. Kemudian, soal tanggung jawab sosial perusahaan yang mungkin berguna untuk membangun gedung pertunjukan, hingga adanya keseimbangan antara musisi dengan produserdalam kontrak serta mengatur tata kelola industrinya supaya sama-sama diuntungkan. “Banyak hal lain di luar UU No.28  Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” ujarnya.

 

Dia beralasan RUU Permusikan menutup celah yang terdapat dalam UU Hak Cipta. Sebab, UU Hak Cipta masih banyak kekurangan yang tidak memberi perlindungan terhadap musisi dalam industri permusikan. Misalnya, dalam UU Hak Cipta, para pelaku kejahatan pembajakan karya cipta musik tidak dapat serta merta ditangkap dan diproses hukum. Sebab, dalam UU Hak Cipta tindak pidana kejahatan pembajakan karya cipta merupakan delik aduan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait