UU KPK Revisi Bisa Jadi Objek Uji Formil di MK
Utama

UU KPK Revisi Bisa Jadi Objek Uji Formil di MK

Karena pembahasan dan pengesahan RUU KPK menjadi UU dinilai cacat formil yang tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yakni asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat untuk memberi masukan sesuai amanat UU No. 12 Tahun 2011.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Massa dari Koalisi Masyarakat Selamatkan KPK menggelar aksi tolak RUU KPK di depan gedung DPR Jakarta, Selasa (17/9). Foto: RES
Massa dari Koalisi Masyarakat Selamatkan KPK menggelar aksi tolak RUU KPK di depan gedung DPR Jakarta, Selasa (17/9). Foto: RES

Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 telah mengesahkan Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang (UU KPK). Aksi penolakan terus bergulir hingga ke sejumlah daerah.  Sejumlah pihak mempertanyakan kenapa pengesahan RUU KPK sebagai inisiatif DPR ini begitu cepat disahkan dan terkesan tertutup.  

 

Praktis, sejak RUU ini disetujui menjadi hak usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (5/9). Berlanjut keluarnya Surpres Presiden pada 11 September, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KPK dari pemerintah, pembahasan, hingga pengesahan RUU KPK menjadi UU pada Selasa (17/9) hanya memakan waktu 12 hari. Karena itu, pengesahan RUU KPK ini dinilai cacat formil yang bisa menjadi objek pengujian di MK.         

 

Peneliti senior Pusat Studi Hukum Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Solikhin menilai proses pengesahan RUU KPK menjadi UU cacat formil karena tidak mengindahkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dia mengingatkan seharusnya dalam setiap pembahasan rancangan peraturan mesti memenuhi asas keterbukaan termasuk melibatkan elemen masyarakat sebagai masukan.

 

Namun yang terjadi, sejak Presiden mengirimkan Surpres ke DPR, pembahasan DIM bersama dengan DPR cenderung tertutup. Ironisnya, pembahasan RUU KPK kerap digelar malam hari sejak Surpres terbit pada Rabu (11/9) hingga disahkan menjadi UU pada (17/9). Dia menilai DPR dan pemerintah seolah “menari” di atas penolakan masyarakat sebagai bentuk pengabaian aspirasi masyarakat.

 

“DPR telah mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan RUU tersebut,” ujar Nur Sholikin, Rabu (18/9/2019). Baca Juga: Resmi Jadi UU, 2 Fraksi Ini ‘Dissenting’ Soal Dewan Pengawas KPK

 

Menurut Solikhin, pembentuk UU melanggar Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal 96 ayat (1) menyebutkan “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Ayat (4)-nya “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

 

Dia mengingatkan Pasal 96 ayat (4) terdapat kata “harus”, sehingga menjadi kewajiban DPR dan Presiden terlebih dahulu menyampaikan materi muatan RUU kepada masyarakat. Dengan menutup akses informasi terkait pembahasan RUU KPK ini, tegas Sholihin, pembentuk UU mengabaikan partisipasi masyarakat yang menutup ruang publik memberi masukan.

Tags:

Berita Terkait