Inkonsistensi UU KPK Baru dari Sisi HAM
Berita

Inkonsistensi UU KPK Baru dari Sisi HAM

Salah satu landasan UU KPK baru ini adalah menghormati HAM, tapi terlihat bertentangan dengan sejumlah pasal di dalamnya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ungkapan sebagian masyarakat yang menolak pengesahan revisi UU KPK. Foto: RES
Ungkapan sebagian masyarakat yang menolak pengesahan revisi UU KPK. Foto: RES

Sudah sepekan setelah DPR dan Pemerintah menyetujui bersama pengusahan perubahan kedua UU No. Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika lewat waktu 30 hari dan Presiden tidak tanda tangan, otomatis UU ini berlaku. Namun ternyata hingga kini, polemik mengenai revisi itu masih menjadi perhatian masyarakat. Bahkan muncul demonstrasi yang menolak pengesahan tersebut.

Tidak hanya mengenai status KPK yang menjadi lembaga pemerintah, dan pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap mereduksi independensi. Kemudian kewenangan Komisioner yang hanya menjadi "manajer" karena tidak mempunyai hak melakukan penyidikan dan penuntutan, serta adanya Dewan Pengawas.

Ada sejumlah hal lain yang menjadi ganjalan bahkan justru bertentangan satu sama lain. Misalnya dalam pertimbangan huruf c yang menjadi salah satu landasan lahirnya peruubahan ini yaitu bahwa pelaksanaan tugas KPK tidak boleh mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM).

Berikut isi lengkapnya: "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu terus ditingkatkan melalui strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yangkomprehensif dan sinergis tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Atas dasar hak asasi ini pula Presiden Joko Widodo menyetujui terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di UU KPK baru. "SP3, hal ini juga diperlukan penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip perlindungan HAM dan untuk kepastian hukum," ucapnya, dalam konferensi di Istana Negara terkait revisi UU KPK, Jumat (13/9).

(Baca juga: Menggagas Peradilan Korupsi yang Lebih Menguntungkan Keuangan Negara).

Tapi kenyataannya ada sejumlah pasal yang disinyalir bertentangan dengan HAM di UU KPK baru. Pasal 43 huruf c penyelidik KPK harus sehat jasmani dan rohani yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, aturan yang sama juga berlaku bagi penyidik KPK di Pasal 45A huruf c. Padahal, setidaknya ada satu nama penyidik yang mengalami cacat berkaitan dengan profesinya selaku penyidik KPK yaitu Novel Baswedan. Kuasa hukum Novel, Arif Maulana berpendapat ketentuan tersebut sengaja digunakan untuk menyingkirkan kliennya sebagi penyidik di KPK.

Tak hanya itu, ini juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap kaum difabel. "Karena tidak memiliki tafsir resmi dalam peraturan perundang-undangan, dalam berbagai kasus syarat sehat jasmani dan rohani ditafsirkan beragam, bahkan seringkali digunakan untuk mendiskrimasi masyarakat yang menyandang difabel," kata Arif kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait