Alasan Presiden Tak Terbitkan Perppu KPK Dinilai Menyesatkan
Berita

Alasan Presiden Tak Terbitkan Perppu KPK Dinilai Menyesatkan

Karena penerbitan Perppu KPK oleh Presiden (eksekutif) tidak bisa digantungkan pada proses uji materi yang dilakukan lembaga lain (MK).

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Presiden Joko Widodo dinilai enggan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dengan dalih, Presiden menghargai/menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menyidangkan uji materi Perubahan UU KPK dengan tiga permohonan.  

 

Bagi kalangan pegiat antikorupsi menilai alasan Presiden itu dengan dalih sopan santun justru bisa menjadi “serangan” balik terhadap dirinya. “Alasan Presiden Jokowi enggan menerbitkan Perppu justru menjadi ‘serangan’ balik. Sebab, alasan sopan santun dalam praktik ketatanegaraan itu dapat dipatahkan,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas Feri Amsari dalam sebuah diskusidi Jakarta, Minggu (3/11/2019).

 

Feri memaparkan beberapa hal ketidakpedulian Presiden terhadap agenda pemberantasan korupsi. Pertama, Presiden membiarkan proses pembahasan Revisi UU KPK antara DPR dan pemerintah tidak melibatkan peran serta masyarakat dan KPK. Semestinya, KPK sebagai bagian pemerintah dan pengguna UU mesti dilibatkan.

 

“Kalau memang sopan santun (yang dikedepankan, red), seharusnya KPK diajak (membahas, red) karena sebagai lembaga yang terkait langsung,” kata Feri. Baca Juga: Ini Sinyal Presiden Dianggap Tak Peduli Terhadap Pemberantasan Korupsi

 

Kedua, Presiden dinilai justru tak sopan santun karena membiarkan proses persetujuan Revisi UU KPK dalam sidang paripurna pada 17 September 2019 lalu cacat secara formil lantaran ada manipulasi data absensi. Pimpinan rapat paripurna Fahri Hamzah mengacu pada data absensi menyebut anggota DPR yang hadir sebanyak 289 dari total 560 orang, sehingga dianggap memenuhi kuorum.

 

Namun, ketika dihitung secara manual, jumlah yang hadir dalam rapat paripurna itu hanya 107 anggota DPR yang hadir. Sedangkan yang titip absen, kata Feri, sebanyak 182 orang. Dengan begitu, seolah anggota DPR yang hadir memenuhi kuorum. “Sopan gak Presiden membiarkan ini semua dalam ketatanegaraan? Jadi dua hal ini justru menimbulkan pertanyaan soal sopan santun Presiden,” ujarnya.

 

Ketiga, janji Presiden Jokowi kepada sejumlah tokoh senior bakal mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK ketika diundang ke Istana Negara beberapa waktu, namun pilihan Presiden justru tidak menerbitkan Perppu KPK dan tidak memberitahukan para tokoh yang telah diundangnya itu. “Seharusnya, para tokoh itu diundang kembali untuk diajak berdiskusi. Apakah (sikap) Presiden ini bisa dianggap sopan?”

Tags:

Berita Terkait