Euthanasia, Garis Finish yang Dipilih Marieke Vervoort
Berita

Euthanasia, Garis Finish yang Dipilih Marieke Vervoort

Euthanasia adalah masalah moral dan legal yang sudah lama diperdebatkan. Kembali mencuat setelah kematian atlit paralimpik Belgia.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi suntik mati atau euthanasia. Ilustrator: UCUP
Ilustrasi suntik mati atau euthanasia. Ilustrator: UCUP

Keperkasaan Marieke Vervoort di lintasan Paralimpik –pesta olahraga sejagat untuk penyandang disabilitas-- London, tujuh tahun silam, tak tertandingi. Ia berhasil menyabet dua medali emas, dan memberikan kebanggaan untuk negara asalnya, Belgia. Di Paralimpik Rio de Janeiro beberapa tahun kemudian, Vervoort kembali mempersembahkan medali untuk negaranya setelah mencapai garis finis.

Tetapi pada Oktober lalu, perempuan 40 tahun itu sudah mencapai ‘garis finis’ untuk selamanya. Tidak ada lagi medali, tidak ada lagi penderitaan. Jika gajah meninggalkan gading, manusia meninggalkan nama. Nama Vervoort ditorehkan dengan manis, dan  akan dikenang sebagai salah seorang atlit paralimpik berprestasi. Keterbatasan tubuhnya tak menjadi penghalang untuk memberikan yang terbaik.

Setelah semua prestasi itu, Vervoort memilih garis finis lain. “Kematiannya sangat menyentuh kami,” begitu pernyataan resmi keluarga setelah dokter memastikan Vervoort menghembuskan nafas terakhir.

Vervoort memilih jalan kematian yang disebut di dunia medis sebagai ‘euthanasia’. Di negaranya, Belgia, euthanasia memang legal. Seseorang dapat memilih untuk mempercepat akhir hidupnya lewat bantuan dokter. Yang memilihnya bukan hanya Vervoort. Euthanasia adalah jalan mengakhiri hidup yang sudah berusia lama, pernah diminta oleh Cleopatra kepada dokter Olympus. Hippocrates, yang dikenal dengan Sumpah Hipokrates, termasuk penentang euthanasia. Sumpah Hipokrates mewajibkan dokter untuk terus berusaha menolong pasien, dan tak memberi obat untuk membantu kematiannya.

Hukumonline.com

Dalam wawancara dengan Associated Press sewaktu Paralimpik Rio de Jenairo 2016, sebagaimana diberitakan Time, Vervoort mengisahkan penderitaan yang dialaminya dan sudah tak bisa disembuhkan. Setiap malam hanya bisa tidur selama 10 menit, penyakit demi penyakit terus mendera. Hanya dengan olahraga ia tetap menjaga asa dalam hidup. “Terlalu berat untuk tubuh saya,” ujarnya.

Meskipun sakit, Vervoort –menyebut dirinya sendiri sebagai crazy lady—berusaha ‘melawan’. Lewat latihan dan pertandingan olah raga, serta mencoba tantangan lain, membuatnya bertahan untuk sementara ditemani si Zenn, anjing labradornya. Namun ketika tubuhnya makin rapuh, dan rasa sakit kian tak tertahankan, Vervoort memilih untuk menjalankan euthanasia. “Kematian tak ubahnya operasi pada Anda, Anda pergi tidur dan tak pernah bangun lagi. Bagi saya, itu sesuatu yang damai,” ujarnya.

Maka, ketika surat pernyataan euthanasia disodorkan ke hadapannya Vervoort langsung meneken persetujuan. “Kalau saya tak punya kertas itu, mungkin saya sudah bunuh diri,” ujarnya seraya mengkampanyekan agar setiap negara punya aturan tentang euthanasia. Belgia, negara asal Vervoort, termasuk yang sudah memperbolehkan euthanasia.

Tags:

Berita Terkait