Urgensi Pembentukan RUU Omnibus Law Dipertanyakan
Berita

Urgensi Pembentukan RUU Omnibus Law Dipertanyakan

Kondisi ekonomi dan pertumbuhan investasi di Indonesia cukup baik, bahkan pemerintah mengklaim jumlah pengangguran dan kemiskinan menurun. Jadi apa urgensinya membuat RUU Omnibus Law?

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi RUU Omnibus Law, Rabu (19/12). Foto: FNH
Acara diskusi RUU Omnibus Law, Rabu (19/12). Foto: FNH

Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law. Staf Khusus Presiden, Arif Budimanta, mengatakan jika persoalan rangking Ease of Doing Business (EoDB) adalah fokus utama di balik hadirnya RUU Omnibus Law, yang salah satunya adalah dengan mengusung transformasi ekonomi Indonesia di tengah risiko melambatnya ekonomi dunia.

 

Arif mengungkapkan, dengan menggunakan pendekatan omnibus terhadap sejumlah regulasi, pemerintah akan membuat sebuah lompatan besar di sektor perekonomian. Setidaknya terdapat 82 undang-undang sektoral dan lebih dari 1.200 pasal yang akan diintegrasikan ke dalam sejumlah RUU Omnibus Law.

 

Secara keseluruhan pasal-pasal terkait perizinan merupakan pasal yang paling dominan yang akan diintegrasikan. Kurang lebih terdapat 700 pasal dari 52 undang-undang yang mengatur tentang perizinan yang akan diintegrasikan dalam omnibus law. “Yang paling dominan dari 1.200 pasal, ada di aspek perizinan. Dia lebih dari 52 UU sampai 700 pasal,” kata Arif dalam sebuah acara diskusi RUU Omnibus Law, Rabu (18/12), di Jakarta.

 

Adapun sejumlah RUU Omnibus Law yang saat ini tengah dibahas adalah RUU tentang Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibukota Negara. Dari perspektif ekonomi, Arif mengakui bahwa RUU ini sejalan dengan salah satu dari lima prioritas Presiden, yakni mewujudkan transformasi di bidang ekonomi.

 

Tapi Pengamat Ekonomi, Faisal Basri, justru mempertanyakan urgensi pemerintah untuk membentuk RUU Omnibus Law. Alasan transformasi ekonomi yang dimaksud, lanjut Faisal, tidak tergambar dalam situasi ekonomi Indonesia saat ini. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik berada di angka 5 persen, sementara di sisi lain pertumbuhan ekonomi dunia hanya menyentuh 3 persen.

 

Selain itu, investasi juga berada di jalur yang benar, angka pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan diklaim mengalami penurunan dengan kualitas pertumbuhan yang bagus.

 

“Tadi saya sudah katakan tidak ada nestapa dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 5 persen, sementara pertumbuhan ekonomi dunia cuma 3 persen. Seharusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia itu turun, tapi kita bisa 5 persen. Investasi tidak jelek, angka pengangguran kata pemerintah turun terus, kualitas pertumbuhan bagus. Tiba-tiba sekarang ingin pake teori roket, apa ini yang terjadi?’’ kata Faisal.

Tags:

Berita Terkait