Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Dinilai Potensi Ciptakan PHK Massal
Berita

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Dinilai Potensi Ciptakan PHK Massal

Karena ada sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang akan dicabut dan diubah dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, antara lain PHK, pesangon, outsourcing, upah, PKWT (kontrak kerja), TKA yang berpotensi semakin menurunkan kesejahteraan buruh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi demo buruh di Jakarta. Foto: RES

Rencana pemerintah menggulirkan pembentukan Omnibus Law melalui RUU Cipta Lapangan Kerja mendapat sorotan tajam dari kalangan buruh. Mereka menolak pasal-pasal ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang diperkirakan bakal semakin menurunkan kesejahteraan buruh dan masyarakat secara umum.     

 

Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah melihat RUU Cipta Lapangan Kerja akan meningkatkan PHK missal. Proses pembahasan omnibus law mengarah pada penghapusan atau penurunan besaran pesangon dan sistem pengupahan. Selain itu, menyerahkan sistem ketenagakerjaan pada mekanisme bipartit yakni perundingan pengusaha dan buruh di tempat kerja.

 

Ilhamsyah yakin perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan PHK yang berimbas pada besaran pesangon itu bakal menciptakan banyak perusahaan melakukan PHK massal. Lalu, buruh yang menganggur akibat PHK massal ini tak lantas mendapat pekerjaan, sehingga menjadi beban ekonomi dan sosial bagi masyarakat dan negara.

 

“Alih-alih cipta lapangan kerja, pengesahan omnibus law akan menciptakan gelombang PHK,” kata Ilhamsyah saat dikonfirmasi Hukumonline, (2/1/2020). Baca Juga: Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Ingatkan 4 Hal untuk Omnibus Law  

 

Mengenai pengupahan, Ilhamsyah melihat arahnya pada perubahan mekanisme perhitungan upah menjadi per jam. Hal ini menjauhkan buruh dari kepastian kerja. Dia menilai perhitungan upah berdasarkan per jam tidak tepat mengingat jaring pengaman sosial di Indonesia masih lemah. “Upah minimum yang saat ini digunakan di Indonesia merupakan mekanisme yang tepat,” kata dia.

 

Dia pun menilai sistem ketenagakerjaan yang bakal diserahkan melalui mekanimse perundingan bipartit di tempat kerja akan memperburuk kesejahteraan buruh. Faktanya, pemberangusan serikat pekerja masih marak terjadi dan penegakan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja tidak berjalan sesuai harapan.

 

“Tanpa posisi setara, serikat buruh hanya akan menjadi stempel karet kebijakan-kebijakan untuk mengebiri hak-hak buruh,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait