Siapa yang Berpeluang Paling Untung dari Perjanjian Nominee?
Berita

Siapa yang Berpeluang Paling Untung dari Perjanjian Nominee?

Kepemilikan nominee yang diakui Mahkamah Agung secara hukum atas dasar dokumen bukti kepemilikan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi mengenai perjanjian nominee dalam kasus pertanahan yang diselenggarakan hukumonline. Foto: RES
Para pembicara dalam diskusi mengenai perjanjian nominee dalam kasus pertanahan yang diselenggarakan hukumonline. Foto: RES

Siapa yang paling diuntungkan dalam perjanjian nominee (pinjam nama) kepemilikan tanah? Banyak yang mengira para pemilik uang yang meminta bantuan nominee. Terutama para pemilik uang yang statusnya Warga Negara Asing (WNA).

Dalam diskusi yang digelar hukumonline, Selasa (18/2) justru terungkap bahwa nominee paling berpeluang mengambil keuntungan besar. Begini penjelasannya.

1. Kausa Tidak Halal dalam Perjanjian Nominee

“Pasal 21 ayat 1 dan Pasal 26 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) melarang WNA memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia,” kata Hakim Agung I Gusti Sumanatha.

WNA hanya bisa mendapatkan Hak Pakai dan Hak Sewa Untuk Bangunan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Psal 41 dan Pasal 42 UUPA serta Peraturan Pemerintah (PP) No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

Sumanatha menjelaskan segala variasi perjanjian nominee hak milik tanah pada dasarnya penyelundupan hukum (wetsontduiking/fraus legis). Tujuannya memungkinkan WNA menguasai dan melakukan segala perbuatan hukum seolah-olah pemegang Hak Milik. Hal ini tentu bertentangan dengan pasal 21 ayat (1) dan pasal 26 ayat (2) UUPA.

“Perjanjian yang merupakan bentuk penyelundupan hukum seperti itu tidak memenuhi syarat sebab yang halal,” katanya. Sebab halal yang dimaksud merujuk pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah perjanjian.

(Baca juga: Tiga Hal yang Harus Diperhatikan Notaris Terkait PP Hunian Orang Asing).

Adanya larangan dalam undang-undang menyebabkan syarat sebab yang halal tidak terpenuhi. Ia merujuk pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata. Diatur soal sebab-sebab terlarang dalam perjanjian apabila dilarang oleh undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan atau melanggar ketertiban umum.

Tags:

Berita Terkait