Masalah Hukum Perluasan Harta Benda Wakaf, dari Saham dan Sukuk hingga Manfaat Polis Asuransi
Lipsus Lebaran 2020

Masalah Hukum Perluasan Harta Benda Wakaf, dari Saham dan Sukuk hingga Manfaat Polis Asuransi

Walau sudah dipraktikkan, petunjuk teknis mengenai objek wakaf saham, sukuk dan manfaat polis asuransi. Baru diatur secara umum dalam UU Wakaf.

Oleh:
Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Mungkin masih banyak warga yang berfikir bahwa objek wakaf itu hanya terbatas pada tanah yang berstatus hak milik, yang dipergunakan untuk pembangunan masjid, tempat pemakaman umum, atau pondok pesantren. Pandangan ini tercermin pula dalam perkembangan peraturan perundang-undangan nasional yang menyinggung wakaf tanah.

UU Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), misalnya, mengakomodasi pasal mengenai wakaf sebatas tanah, dilanjutkan pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pasal 49 UU Pokok Agraria mengatur bahwa untuk kebutuhan peribadatan dan kegiatan peribadatan keagamaan lainnya dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Puluhan tahun setelah UUPA tersebut, sudah banyak kebijakan yang digulirkan Pemerintah yang memperlihatkan pergeseran pandangan klasik tentang harta benda wakaf. Dalam perkembangannya, ulama Islam kontemporer telah mengarah pada sikap menerima dan menyetujui wakaf non-tanah seperti wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk saham, sukuk (obligasi Syariah), reksadana syariah, manfaat polis asuransi dan lainnya.

Menilik praktik wakaf di masa Nabi dan sahabat, ketika itu wakaf memang masih terbatas pada benda, baik benda yang bergerak ataupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak, misalnya sahabat pernah mewakafkan kuda sebagai kendaraan perang Nabi. Perkembangannya, di masa kontemporer lahirlah jenis objek wakaf uang. Kalangan Imam Syafi’i menolak jenis wakaf ini, mengingat di masa itu uang (alat tukar) masih berupa emas (dinar).

“Karena berbentuk emas ada keberatan, tapi sekarang sudah bentuk kertas. Jadi ulama sekarang membolehkan karena bukan lagi berbentuk dinar (emas). Mazhab Hanafi termasuk yang setuju wakaf uang,” jelas Pakar Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nadratuzzaman Hossein kepada hukumonline, Rabu, (13/05). (Baca juga: Ada Irisan RUU Pertanahan dengan Hukum Wakaf)

Sebagai informasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri dalam fatwanya tentang wakaf uang telah memutuskan bahwa cash wakaf/wakaf al-Nuqud hukumnya jawaz (boleh). Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Dalam fatwa ini, disebutkan bahwa nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.

Lebih lanjut, Nadra menjelaskan, ada dua prinsip wakaf uang, yakni uangnya yang diwakafkan, atau uangnya dijadikan barang. Orang Indonesia lebih banyak mengakui wakaf uang yang dijadikan barang. Misalnya, untuk pembangunan masjid seseorang menyumbang sejumlah uang untuk pembelian semen, pasir, keramik dan lainnya. Sementara untuk wakaf uang cash, kerap banyak keliru dimengerti, malah uangnya yang disimpan dalam bentuk tabungan. Padahal hasil dari investasinya, depositonya itu yang diwakafkan untuk masyarakat. Begitu juga dengan sukuk, manfaat dari sukuk itulah yang diberikan pada masyarakat.

Tags:

Berita Terkait