Vonis Ringan Penyuap eks Komisioner KPU
Berita

Vonis Ringan Penyuap eks Komisioner KPU

ICW mengkritisi putusan dan menilai vonis ringan karena tuntutan juga rendah.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Saeful Bahri mengenakan rompi tahanan usai diperiksa penyidik KPK. Foto: RES
Saeful Bahri mengenakan rompi tahanan usai diperiksa penyidik KPK. Foto: RES

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman kepada Saeful Bahri dengan pidana penjara selama 1 tahun 8 bulan dan denda Rp150juta subsider 4 bulan kurungan. Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena memberi suap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

“Menyatakan terdakwa Saeful Bahri telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” kata Ketua Majelis Hakim Panji Surono dalam pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.

Majelis berpendapat menyebutkan Saeful Bahri bersama calon legislatif PDIP dari daerah pemilihan I Sumatra Selatan Harun Masiku terbukti menyuap Wahyu berupa uang secara bertahap sebesar Sin$19.000 dan Sin$38.350, atau seluruhnya setara dengan jumlah Rp600 juta. Menurut hakim, suap itu diberikan agar Wahyu mengupayakan KPU memilih Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Ada sejumlah pertimbangan majelis dalam memberi putusan, di antaranya hal yang memberatkan, Saeful tak membantu program pemerintah dalam memberantas korupsi serta sebagai kader partai politik dinilai tak memberi contoh baik. Hal yang meringankan ialah Saeful berlaku sopan dan memiliki tanggungan keluarga. Saeful diketahui merupakan kader PDI Perjuangan.

Putusan itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK yang mendakwa hukuman 2 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp150 juta. Berdasarkan keputusan majelis hakim, Saeful bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Atas putusan ini Saeful menerima sementara penuntut umum piker-pikir.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkritisi putusan tersebut. Menurutnya vonis perkara Saeful Bahri semakin menambah daftar panjang vonis ringan perkara korupsi. Catatan ICW, sepanjang 2019 rata-rata vonis perkara korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara, dan hal ini menurut Kurnia seharusnya menjadi fokus Ketua Mahkamah Agung Syafruddin.

“Vonis-vonis ringan dalam perkara korupsi ini pun semestinya menjadi fokus bagi Ketua Mahkamah Agung yang baru. Sebab, bagaimana mungkin tercipta efek jera yang maksimal bagi pelaku korupsi jika hukumannya saja masih rendah,” katanya. (Baca: Perkara Penyuap Anggota KPU Disidangkan, Nama Harun Masiku Jelas Disebut)

Selain itu putusan ringan ini memang tak lepas dari tuntutan yang diajukan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai terlalu rendah. Hal tersebut menurutnya semakin memperlihatkan lunaknya pimpinan KPK terhadap para koruptor. “Atau jika menggunakan kosa kata yang sedang populer saat ini bisa dikatakan bahwa KPK telah memasuki era new normal di bawah kepemimpinan Komjen Firli Bahuri. Publik dipaksa berdamai dengan situasi kepemimpinan KPK yang sebenarnya sangat jauh dari kata ideal,” katanya.

Tags:

Berita Terkait