Problem Penilaian Implementasi Putusan MK oleh DKPP Mengemuka dalam Sidang Gugatan Evi Novida
Berita

Problem Penilaian Implementasi Putusan MK oleh DKPP Mengemuka dalam Sidang Gugatan Evi Novida

Keppres pemberhentian tidak hormat terhadap Evi Novida Ginting adalah tindak lanjut atas Putusan DKPP Nomor 317/2019.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Evi Novida Ginting. Foto: DAN
Evi Novida Ginting. Foto: DAN

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melanjutkan sidang perkara Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang memperhadapkan penggugat mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting dengan Presiden Republik Indonesia yang telah mengeluarkan Keppres Pemecatan Evi dari jabatan anggota KPU menyusul terbitnya Putusan DKPP Nomor 317/2019 yang mana salah satu amar putusannya memberhentikan Evi dengan tidak hormat.

Dalam sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli tersebut, Evi sebagai penggugat menghadirkan Ahli Filsafat Hukum dari Universitas Indonesia (FH UI)  Fernando M. Manullang. Menyoal persidangan etik yang dihadapi oleh Evi bersama sejumlah anggota KPU di hadapan majelis DKPP, Fernando menilai Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak memahami konsekuensi dasar dari etika ketika memutuskan perkara No.317/2019 tanggal 18 Maret 2020. 

“Saya ragu majelis etiknya memahami etika,” ujar Fernando saat menyampaikan pandangannya di depan Majelis Hakim PTUN Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Fernando, dalil etik tidak tepat dalam mengevaluasi ataupun menilai putusan KPU yang  dalam hal ini menjalankan Putusan PHPU Mahkamah Konstitusi (MK) No 154/2019. Fernando menegaskan bahwa DKPP bukan peradilan hukum. Tapi lembaga etik yang harusnya mengerti dasar konsekuensi dan kemanfataan dari putusan etik yang diambil. Ia menilai dalam Putusan DKPP No.317/2019 tidak terdapat pertimbangan moral di dalamnya. Hanya berupa pertimbangan hukum.

Fernando menjelaskan perbedaan antara melanggar hukum dan melanggar etika. Pertimbangan dalam etika itu dasarnya selalu rasionalitas yang melulu dipimpin oleh akal budi. Dalam bahasa filsafat, rasio sebagai akal budi, karena akal mengandung budi. Sementara dalam kacamata hukum tidak punya pertimbangan tersebut, karena hukum hanya mengenal pertimbangan yuridis. (Baca: Alasan Evi Novida Gugat ke PTUN dan Pandangan Pakar)

“Dalam pengujian hukum yang terutama adalah bagaimana kita melihat bahwa yang dilakukan adalah legal. Sedangkan dalam pengujian etika, yang dilihat adalah bagaimana tindakan itu bermoral,” ujar Fernando

Sementara yang dilakukan oleh DKPP sebagai lembaga etik dalam kasus tersebut, menurut Fernando adalah pengujian bagaimana anggota KPU atau lembaga KPU, melakukan tindakan yang hukum. Saat membaca putusan DKPP, Fernando menilai putusan tersebut merupakan putusan hukum. 

Tags:

Berita Terkait