Alasan DPD Tolak Sentralisasi Kewenangan Pusat dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Alasan DPD Tolak Sentralisasi Kewenangan Pusat dalam RUU Cipta Kerja

Seperti Pasal 166 dan Pasal 350 RUU Cipta dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (5) UUD 1945. Pemerintah berjanji bakal memperhatikan dan mengakomodir berbagai masukan DPR dan DPD.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Kritik terhadap RUU Cipta Kerja tak hanya disuarakan kalangan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil, tapi juga lembaga negara. Salah satunya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mempersoalkan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat yang memangkas kewenangan pemerintah daerah.  

“Empat pimpinan Komite di DPD sepakat menyampaikan penolakan terhadap frasa atau semangat menarik kewenangan daerah ke pusat dalam RUU Cipta Kerja,” ujar Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti dalam rapat gabungan alat kelengkapan dewan dengan Kemenko Perekonomian akhir pekan lalu. (Baca Juga: Ini Tujuh Dampak Negatif RUU Cipta Kerja terhadap Publik)  

Menurut La Nyalla, bagi sebagian besar anggota di DPD berpandangan RUU Cipta Kerja menjadi langkah kemunduran di era demokrasi jika menarik kewenangan pemerintah daerah menjadi sentralistik. Bagi DPD, kata La Nyalla, terdapat frasa dalam RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan konstitusi. Misalnya, Pasal 166 draf RUU Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (5) UUD Tahun 1945.

Pasal 166 RUU Cipta Kerja


(1) Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dan/atau Perda kabupaten/kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik dapat dibatalkan.


(2) Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan presiden.

Pasal 18 UUD Tahun 1945

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.

Menurut DPD, semangat sentralisasi perizinan dan kewenangan pemerintah pusat dapat berpotensi merugikan pemerintah daerah. Akibatnya, dapat menghilangkan semangat otonomi daerah yang telah dirintis sejak awal reformasi. Semangat reformasi di alam demokrasi mesti dipertahakan dengan memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengelola pemerintahan di daerah masing-masing.

Mengacu pada Pasal 166 RUU Cipta Kerja sebagai prinsip umum itu, antara lain menjadi mengubah norma Pasal 350 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi sorotan DPD. Karena itu, DPD menilai mengubah kewenangan pemerintah daerah dalam hal perizinan tanpa mendegradasi kewenangan pemerintah daerah sebagaimana diatur UU Pemerintahan Daerah.

Pasal 350 UU 23/2014 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria. 

(2) Dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu. 

(3) Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(4) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem perizinan elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

(5) Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

(6) Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif. 

(7) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administrasi.

(8) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri.

(9) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah: a. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau b. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.

(10) Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Menurutntya, sejumlah pimpinan di alat kelengkapan DPD menilai hilangnya kepastian hukum terkait sanksi pidana yang diganti menjadi sanksi administratif. RUU Cipta Kerja pun berpotensi menjadi “gemuk” delegasi pengaturan ke peraturan pelaksana di bawah UU. “Ditambah lagi kewenangan presiden mencabut Perda di Pasal 166 RUU tersebut rawan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah ada,” ujarnya.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menegaskan pemerintah berkeinginan mempercepat pembahasan RUU Cipta Kerja.  Dia beralasan RUU Cipta Kerja menjadi langkah terobosan positif dalam 40 tahun terakhir, khususnya di bidang investasi perdagangan. Terlebih lagi di masa resesi global. “RUU ini memberikan sinyal kepada dunia bahwa Indonesia kondusif dan terbuka untuk bisnis, ini penting di tengah sumber daya fiskal kita yang terbatas,” ujarnya.

Soal banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuki DPD sebagai lembaga negara karena kurangnya pemerintah mensosialisasikan RUU Cipta Kerja ini. Akibatnya banyak respon negatif dan penolakan dari banyak kalangan. Meski begitu, Ketua Umum Partai Golkar itu berjanji pemerintah bakal banyak mendengar dan mengakomodir semua masukan dari berbagai kalangan di parlemen. “Baik DPR maupun DPD. Tentu pemerintah memperhatikan dan mengakomodasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait