Pembahasan RUU MK Tertutup Bentuk Pembungkaman Aspirasi Masyarakat
Berita

Pembahasan RUU MK Tertutup Bentuk Pembungkaman Aspirasi Masyarakat

Proses kerja legislasi yang dilakukan sangat cepat dan tertutup dapat dinilai sebagai upaya sengaja untuk membatasi atau bahkan menutup partisipasi masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol
Gedung DPR. Foto: SGP/Hol

Pintu ruang Komisi III DPR tertutup rapat. Ruang balkon yang biasanya dipenuhi pengunjung untuk memantau jalannnya rapat ataupun pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pun sama. Padahal, di ruang Komisi III terdapat pembahasan Revisi UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Pembahasan RUU MK secara tertutup mengingatkan pada saat pembahasan Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Lantas apakah nasib RUU MK bakal seperti RUU KPK?

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Sholikin menilai DPR dan pemerintah merencanakan pembahasan dan pengesahan RUU MK dalam waktu dekat. Sejak awal, jadwal yang beredar pembahasan RUU MK bakal dibahas di tingkat Panja dalam hitungan hari. “Tentu proses ini menambah catatan buruk proses kerja legislasi baik DPR maupun pemerintah,” ujar Sholikin kepada Hukumonline, Kamis (27/8/20020). (Baca Juga: Pemerintan Sodorkan DIM RUU MK)

Padahal, dalam beberapa bulan terakhir, proses legislasi yang dilaksanakan DPR dan pemerintah seringkali menuai kritik. Sebab, proses pembahasan RUU dilakukan tertutup serta tidak melibatkan peran serta masyarakat. Dia berpendapat proses legislasi untuk mengubah UU MK mengulangi praktik buruk yang mengabaikan hak-hak masyarakat untuk tahu dan terlibat dalam pembentukan undang-undang.

Menurutnya, proses kerja legislasi yang dilakukan dengan sangat cepat dan tertutup dapat dinilai sebagai upaya sengaja untuk membatasi atau bahkan menutup partisipasi masyarakat. Praktik proses legislasi yang tertutup dan tidak partisipatif yang berulang mengindikasikan pengabaian terhadap tertib prosedur atau aspek formil pembentukan undang-undang.

“Proses legislasi saat ini terlihat bersifat elitis, DPR dan pemerintah mengambil jarak dengan masyarakat dalam membentuk undang-undang,” kritiknya.

Mantan Direktur Eksekutif PSHK periode 2015-2019 ini melanjutkan UU tidak hanya memerlukan legalitas semata, namun juga legitimasi dari masyarakat. Padahal, legalitas dan legitimasi itu dapat meningkatkan efektivitas implementasi sebuah UU. Namun bila dikesampingkan, salah satu unsur tersebut, maka dapat menimbulkan persoalan besar.

Menurut dia, ketidaktaatan terhadap aspek formil pembentukan UU menunjukkan perlunya keseriusan MK dalam menguji UU dari aspek pembentukannya atau pengujian formil. Karena itu, koreksi MK amat diperlukan dalam menjamin hak-hak masyarakat dalam proses legislasi dan transaksi politik yang mengabaikan konstitusi.

Tags:

Berita Terkait