Teori Pertanggungan Negara: Gagasan Baru Pemenuhan Ganti Kerugian
Kolom

Teori Pertanggungan Negara: Gagasan Baru Pemenuhan Ganti Kerugian

​​​​​​​Teori Pertanggungan Negara merupakan bentuk jaminan perlindungan secara mutlak dari negara terhadap warga negara yang dinyatakan tidak bersalah yang pemenuhannya bersifat mudah dan cepat, seperti klaim asuransi.

Bacaan 8 Menit
DY Witanto. Foto: Istimewa
DY Witanto. Foto: Istimewa

Setiap penegakan hukum dalam perkara pidana akan selalu berujung pada dua kemungkinan. Pertama, terbukti bersalah lalu dijatuhi pidana. Kedua tidak terbukti bersalah kemudian dibebaskan (Pasal 191 ayat 1 KUHAP) atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Meskipun putusan bebas atau lepas dapat memberikan kegembiraan bagi si terdakwa, namun di balik itu kerap kali menyisakan persoalan yang kompleks.

Bagaimana tidak, terdakwa telah menjalani proses penangkapan dan penahanan yang membuatnya tidak bisa menjalankan pekerjaan, sehingga keluarganya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tidak jarang anak dan istrinya terpaksa harus melakukan kejahatan untuk bisa keluar dari himpitan ekonomi. Ironisnya, ketika terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan kembali pada keluarganya, ia harus berhadapan dengan persoalan baru. Tagihan hutang yang menumpuk selama ia tidak bisa bekerja, anak-anak yang putus sekolah karena tidak mampu membayar SPP dan banyak persoalan lainnya pasca keluar dari jeruji besi. Lalu ke mana negara pada saat itu?

Pasal 95 KUHAP telah memberikan sarana untuk pemenuhan ganti kerugian bagi terdakwa yang pernah menjalani masa penangkapan dan penahanan, namun dinyakan tidak bersalah (M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, hlm 38). Akan tetapi pada kenyataannya, pemenuhan ganti kerugian tersebut tidaklah mudah, karena terdakwa harus berjuang dulu di persidangan. Sedangkan praktinya, masih ada kesimpangsiuran hukum acara yang digunakan bagi proses pemeriksaan tuntutan ganti kerugian. Melalui mekanisme praperadilan, ataukah gugatan perdata biasa.

Pasal 77 huruf b KUHAP menyebutkan bahwa ganti kerugian yang dapat dituntut melalui praperadilan hanya dalam hal perkaranya dihentikan di tingkat penyidikan atau penuntutan (D.Y. Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori Dan Praktik, Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Penanganan Perkara Praperadilan, hlm. 169). Ada sebagian yang menempuhnya melalui gugatan perdata, sehingga proses persidangan untuk pemenuhan ganti kerugian bisa sampai ke tahap banding, kasasi, bahkan PK. Melihat kondisi seperti itu, tidak salah jika kita mengatakan “habis jatuh, tertimpa tangga pula” karena bukan ganti rugi yang didapatkan oleh si korban, justru dampak kerugian menjadi semakin besar.

Setelah tuntutannya dikabulkan oleh pengadilan, si korban juga masih harus berhadapan dengan prosedur pencairan ganti rugi yang tidak kalah rumit dan jelimetnya. Negara tidak memiliki anggaran khusus untuk membayar ganti kerugian akibat dari penegakan hukum pidana. Negara baru akan mengalokasikan anggaran jika telah ada putusan/penetapan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tentang ganti kerugian. Padahal, seperti dikatakan di atas bahwa setiap penegakan hukum pidana akan berakhir pada dua kemungkinan, yaitu terbukti bersalah atau tidak terbukti bersalah.

Sesuai Pasal 11 PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 27 Tahun 1983, bahwa pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan paling lama 14 hari sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima. Untuk ketentuan mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian diatur dengan peraturan menteri keuangan.

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 206/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun 2019 jelas menggambarkan bahwa tindakan negara hanya bersifat reaktif bukan antisipatif. Hal itu sebagaimana digambarkan dalam ketentuan Poin 2 huruf l PMK Nomor 206/PMK.02/2018, yang menyebutkan putusan pengadilan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan dapat dilakukan antarjenis belanja dan/atau antar­ kegiatan dalam satu program serta merupakan tanggung jawab K/L yang terkait dengan permasalahan tersebut. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk penyelesaian revisi berupa pembayaran ganti kerugian korban salah tangkap. Hal senada juga disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) huruf n PMK Nomor 39 Tahun 2020 tentang Tata Cara Perubahan Anggaran Tahun 2020 yakni pergeseran anggaran untuk penyelesaian putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait