Yuk! Pahami Pembuatan Kontrak untuk Startup dan UMKM
Utama

Yuk! Pahami Pembuatan Kontrak untuk Startup dan UMKM

Secara umum kontrak antar dua perusahaan atau UMKM berisikan mulai dari apa produk yang ditawarkan; hak dan kewajiban para pihak, keadaan force majeure, hingga penyelesaian sengketa.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Dalam menjalankan usahanya, sebuah perusahaan startup dan UMKM membutuhkan beberapa dokumen legal. Salah satunya perjanjian kontrak yang menjadi aturan tertulis terkait hak dan kewajiban perusahaan startup dan UMKM. Lalu, apa yang seharusnya ada dalam kontrak untuk menghindari kesalahan dalam menjalankan kegiatan bisnis antar jenis usaha ini di masa mendatang? 

Lead of Legal Tokopedia, Golda Florencia mengatakan melakukan sebuah perjanjian atau kontrak harus dilakukan secara tertulis. Hal ini diperlukan untuk kepentingan audit terkait aset perusahaan yang bisa menjadi pembanding dengan perusahaan lain. “Perjanjian kontrak harus wajib dibuat secara tertulis,” kata Golda dalam Hukumonline Law Festival for Start-Ups and SMEs-Privacy bertajuk “Understanding Legal Contract: Avolding Legal Risks”, secara daring, Selasa (24/11/2020). (Baca Juga: Hadapi Ekonomi Digital, Hukumonline Gelar Festival Hukum Sektor Bisnis Startup dan UMKM)

Golda menjelaskan dalam kontrak yang dilakukan antar dua perusahaan atau UMKM berisikan mulai dari apa produk yang ditawarkan; hak dan kewajiban para pihak, hingga penyelesaian sengketa. “Apakah kontrak kerja sama itu berlaku terus-menerus atau berlaku dengan jangka waktu tertentu? Ini juga harus diatur (disepakati, red) dalam perjanjian,” ujarnya.

Ia mencontohkan misalnya dalam proses pembayaran, dalam perjanjian kontrak harus ditulis pembayarannya dilakukan di muka atau tidak dan apakah ada finalty-nya jika terlambat membayar. “Sehingga ada kejelasan nantinya dalam perjanjiannya. Jadi sebelum membuat perjanjian kita harus tahu dulu kegiatan apa dalam menjalankan perusahaannya,” kata dia.

Dalam kontrak, kata dia, kemungkinan risiko yang akan terjadi di masa mendatang penting juga diatur. Seperti, keadaan force majeure (keadaan memaksa) pada saat pendemi. Dalam penjanjian harus ditulis, sejauh mana force majeure bisa ditentukan. Jika keadaan force majeure ini berlarut-larut dan tidak ada ujungnya, lalu bagaimana harus mengakhiri perjanjian? “Ini juga harus diatur dalam kontrak.”

“Ketika keadaan force majeure, apakah diatur penundaan pembayaran dan penundaan berapa lama? Atau bahkan sampai keadaan ekonomi pulih kembali. Hal ini seharusnya sudah ditentukan sejak awal perjanjian.”

Terkait klausul mengakhiri perjanjian, kata Golda, jika perjanjian tersebut sudah selesai jangka waktunya atau salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, UMKM harus memenuhi produk yang diminta dalam jumlah sekian dengan batas waktu tertentu, tetapi kewajiban yang tertuang dalam kontrak ini tidak terpenuhi.  

Tags:

Berita Terkait