DKP Ikadin Jatuhkan Sanksi Peringatan Keras pada Mulya Lubis dan Lelyana
Berita

DKP Ikadin Jatuhkan Sanksi Peringatan Keras pada Mulya Lubis dan Lelyana

Pengacara kondang Todung Mulya Lubis, terbukti melanggar kode etik. Untuk itu, Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Pusat mengeluarkan peringatan keras terhadap Mulya Lubis.

Tri
Bacaan 2 Menit
DKP Ikadin Jatuhkan Sanksi Peringatan Keras pada Mulya Lubis dan Lelyana
Hukumonline

 

"Jadi kami menganggap apa yang dilakukan Mulya dan Lelyana hanyalah tindakan yang semata-mata untuk menarik perhatian orang, sehingga melanggar ketentuan Pasal 8 b dan f," papar DKP dalam salah satu pertimbangannya.

 

Selain masalah pengumuman putusan, DKP juga menilai catatan hukum yang dibuat Mulya dan Lelyana, yang dipasang berdampingan dengan pengumuman putusan PN Jakarta Selatan, merupakan tindakan yang tidak etis, dan bisa dikualifisir sebagai mencari perhatian dan mencari publisitas.    

 

Sementara David Tobing, selaku pengadu dalam pelanggaran kode etik ini, dalam putusan DKP tidak dikenakan sanksi. Ini berbeda dengan putusan Dewan Kehormatan Cabang Ikadin Jakarta Selatan sebelumnya, yang memberikan sanksi berupa peringatan biasa kepada David karena dianggap menyiarkan pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Mulya dan Lelyana. 

 

"Saya kira sudah tepat putusan DKP. Saya menghormati Mulya sebagai senior, tetapi apa yang saya lakukan ini murni karena saya ingin menegakkan kode etik advokat. Dan ini tidak ada kaitannya dengan politik," ujar David saat dimintai komentarnya sehubungan dengan putusan DKP Ikadin.

 

Tidak konsisten 

 

Sebaliknya, kuasa hukum Mulya dan Lelyana mempersoalkan beberapa bagian dari putusan DKP Ikadin ini. Bambang Widjojanto, Maqdir Ismail dan Kemal Firdaus, yang menjadi kuasa hukum Mulya dan Lelyana, menyoroti komposisi DKP Ikadin yang hanya terdiri dari kalangan advokat. Menurut Bambang, merujuk pada pasal 27 ayat (4) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, seharusnya susunan DKP adalah pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat.

 

"Tetapi kenyataannya mereka yang duduk di DKP dan mengambil keputusan atas kliennya berasal dari kalangan Dewan Kehormatan Ikadin saja. Selain itu berdasarkan UU Advokat yang seharusnya memutuskan adalah majelis kehormatan etik, bukan dewan kehormatan," ujar Bambang kepada hukumonline.

 

Ia juga menilai bahwa putusan DKP juga tidak konsisten dalam menggunakan istilah antara amar putusan dengan putusan. Menurutnya, DKP tidak  mempertimbangkan kebiasaan di lembaga peradilan. "Acap kali putusan yang dibacakan oleh hakim tidak sama persis dengan putusan tertulisnya. DKP harusnya balance melihat hal ini," tegas Bambang.

 

Selain itu, Bambang memandang putusan DKP Ikadin sebagai putusan yang mengandung unsur prejudice, dan tidak sepenuhnya mempergunakan nomenklatur hukum. "Bahkan kesimpulan yang diambil pun didasarkan atas pertimbangan hukum yang tidak komprehensif, dan mengandung unsur prejudice. Kami menghormati putusan DKP tetapi saya melihat putusan DKP ini semangatnya menghukum, daripada bagaimana menegakkan kode etik," cetus Bambang.    

 

Ditanya kemungkinan dampak putusan DKP terhadap Mulya, Bambang berpendapat bahwa putusan ini tidak akan menurunkan integritas Mulya dan lelyana di mata masyarakat. Dikatakan Bambang, masyarakat tentu tidak akan menilai integritas kedua pengacara tersebut hanya dari putusan DKP ini.

Selain Mulya, pengacara Lelyana Sentosa juga dinyatakan bersalah oleh Dewan Kehormatan Pusat (DKP) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Mulya dan Lelyana adalah partner pada lawfirm Lubis Santosa Maulana. DKP Ikadin menilai kedua pengacara senior ini melanggar kode etik Pasal 8 b dan f Kode Etik Advokat tahun 2002.

 

Patut dicatat bahwa putusan DKP Ikadin ini merupakan putusan banding terhadap putusan Dewan Kehormatan Cabang Ikadin Jakarta Selatan. Sebelumnya, Dewan Kehormatan Cabang juga menyatakan Mulya dan Lelyana bersalah melanggar kode etik advokat. Namun, putusan DKP lebih keras dan tegas, dengan menyatakan Mulya dan Lelyana bersalah, dan dikenakan sanksi "Peringatan Keras".  Putusan DKP Ikadin ini telah dibacakan pada Senin (14/06) lalu.

 

Menurut DKP Ikadin, yang terdiri dari: Sudjono (ketua), Ronggur Hutagalung, Artono, Hotma P.D Sitompoel dan Henry Yosodiningrat, tindakan Mulya dan Lelyana yang memuat iklan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan tanggal 1 Agustus 2002 dalam perkara PT. Holdiko Perkasa melawan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), merupakan pelanggaran Pasal 8 b dan f Kode Etik Advokat tahun 2002. Ketika itu, Mulya dan Lelyana berkedudukan sebagai kuasa hukum Holdiko Perkasa.

 

Dalam pertimbangannya, DKP Ikadin mengatakan bahwa putusan perkara PT. Holdiko Perkasa yang diumumkan Mulya dan Lelyana di tiga surat kabar nasional, merupakan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap dan berasal dari salinan yang tidak resmi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: