Efek Bola Salju Penjualan Asset Negara di PT Industri Sandang
Fokus

Efek Bola Salju Penjualan Asset Negara di PT Industri Sandang

Bagai bola salju yang menggelinding, kasus Industri Sandang Nusantara terus membesar dan merambat ke mana-mana, menembus tembok gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mys/Aru
Bacaan 2 Menit
Efek Bola Salju Penjualan Asset Negara di PT Industri Sandang
Hukumonline

 

Betapa tidak, kasus ini telah melebar hingga ke Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Pengacara Suparman, Hermanto Barus, mengungkapkan bahwa ada jaksa yang kecipratan uang sebesar Rp300 juta dari hasil pemerasan saksi. Jaksa tersebut kini sudah tak bertugas lagi di KPK. Pernyataan itu disampaikan Hermanto usai pemeriksaan kliennya pada 27 Maret lalu.

 

Menjadi sasaran tembak, Kejaksaan Agung langsung membentuk tim. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan agar tiga orang bekas jaksa KPK untuk diperiksa. Mereka berinisial KY, WS dan IGT.

 

Warih Sadono sempat 'gerah' dengan pemberitaan yang mengaitkan namanya dengan pemerasan itu. Kepala Bagian Hubungan Media Massa Puspenkum Kejaksaan Agung ini tegas membantah dirinya menerima uang dari penyidik KPK. Ia memang punya alibi. Ia sama sekali tak ikut menangani kasus Industri Sandang. "Tidak benar, saya tidak terima uang itu. Karena saya tidak kenal apalagi bertemu dengan Tintin. Saya juga tidak termasuk dalam tim penyidik KPK yang menangani perkara kasus korupsi PT ISN dan saya siap diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan," ujarnya.

 

Belakangan, kabar yang beredar menyebutkan bahwa jaksa yang ikut menikmati uang pemerasan itu adalah seorang jaksa berinisial KY tadi. Siapakah yang bersangkutan? KPK dan Kejaksaan masih menutup mulut.

 

Dalam berkas dakwaan kasus Industri Sandang baik atas nama terdakwa Kuntjoro Hendrartono maupun Lim Kian Yin, hanya ada tiga nama jaksa yaitu Riyono, Chatarina Muliana G, dan Muhibuddin.

 

Meski masih menutupi identitas ketiganya, yang pasti, pekan ini Kejaksaan Agung akan memeriksa jaksa-jaksa yang pernah bertugas di KPK. "Pemeriksaan atas ketiga jaksa itu masih sebatas klarifikasi," kata Masyhudi Ridwan, Kapuspenkum Kejaksaan Agung.

 

Selain jaksa, penyidik lain pun sangat mungkin tersangkut. Sebab, ada penyidik lain yang menerima uang dari Suparman dengan status pinjaman. KPK terus mendalami masalah ini. KPK sengaja mendatangkan petinggi reserse kepolisian ke markas KPK di Jalan Veteran III Jakarta Pusat untuk 'membriefing' penyidik KPK yang memang berasal dari kepolisian.

 

Notaris dan advokat

Bagaimana kisah penangkapan Suparman memang masih menjadi teka-teki. Apakah dia sengaja dijebak atau ada umpan yang disodorkan untuk memancing penangkapannya di Bandung. Yang pasti, penangkapan Suparman menyeret nama Tintin, sering diinisialkan dengan TT, seorang notaris.

 

Berdasarkan keterangan Hermanto Barus, Suparman telah lama menjalin hubungan baik dengan TT. Hubungan itu terus berlanjut hingga penyidikan perkara Industri Sandang selesai. Saking baiknya, TT sampai kenal dengan anak dan isteri Suparman di Bandung. Kebetulan, TT sedang kuliah magister notariat di sebuah perguruan tinggi di sana. "Apakah menjalin hubungan baik itu tidak boleh," tukas Hermanto.

 

Berhubungan baik tentu saja tidak dilarang. Tetapi hubungan baik itu diduga telah disalahgunakan. Dengan ancaman akan menjadikannya sebagai tersangka, TT menjadi sasaran empuk pemerasan. Bukan hanya sewaktu di Bandung atau Jakarta, malah berlanjut hingga ke tanah suci. Sumber hukumonline menceritakan bagaimana TT yang sedang naik haji diminta untuk membawa tasbih mewah. 

 

Toh, Hermanto tetap menepis kliennya melakukan pemerasan. Menurut dia, uang Rp100 juta yang disita KPK adalah permintaan Tintin yang berniat meminjam uang kepada kliennya. Jadi, uang Rp100 juta itu bukan berasal dari Tintin? Sang notaris memang menjadi sasaran empuk karena diduga berperan mengurus surat-surat pertanahan ketika aset Industri Sandang akan dialihkan ke pembelinya dengan harga murah. Kuat dugaan nilai jual objek pajaknya (NJOP) diutak-atik.

 

Belakangan, dari hasil pemeriksaan di KPK, muncul nama Asfifuddin. Advokat ini disinyalir menerima uang Rp25 juta dari TT. Tetapi, sebagaimana keterangannya kepada Kompas, Asfifuddin menegaskan bahwa uang tersebut adalah fee untuk mendampingi TT selama yang bersangkutan menjadi saksi di sidang Tipikor.

 

Pemeriksaan di KPK akan memperjelas bagaimana peran masing-masing dalam perkara ini. Apakah hanya Suparman yang jalan sendiri atau ada pihak lain yang kecipratan tergantung hasil penyidikan. Tanda tanya besar di benak sebagian orang adalah mengenai penangkapan Suparman. Benarkah yang melapor ke KPK adalah TT karena merasa tidak kuat lagi menjadi objek pemerasan? Atau, TT menjadi umpan untuk menjebak prilaku menyimpang oknum penyidik KPK? Ini masih menjadi teka-teki.

 

Kuntjoro dan Lim Kian Yin

Efek bola salju tak bisa dilepaskan dari kasus pokoknya sendiri. Secara umum, kasus ini bermula dari penjualan aset PT Industri Sandang Nusantara unit Patal Cipadung Bandung. Meneg BUMN memberikan persetujuan penjualan aset berupa tanah seluas 261.200 meter persegi dan bangunan seluas 24.401 meter persegi yang terletak di Jalan Raya Ujung Berung No. 274 Bandung. Akibat penjualan di bawah harga yang semestinya, negara dirugikan.

 

Dalam perkara ini, KPK menyeret dua orang ke kursi psakitan, yaitu Direktur Utama Industri Sandang Kuntjoro Hendrartono dan pembeli tanah Lim Kian Yin alias Yin Yin.

 

Majelis hakim Pengadilan Tipikor pimpinan Gusrizal telah menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada Kunjtoro. Vonis itu dibacakan majelis pada persidangan 16 Maret silam. Selain harus menjalani hidup di penjara selama delapan tahun, Kuntjoro masih diwajibkan membayar denda sebesar Rp300 juta subsider empat bulan kurungan, serta uang pengganti kepada negara sebesar Rp72 miliar. Uang pengganti itu dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan inkracht secara tanggung renteng dengan Lim Kian Yin.

 

Majelis hakim menilai terdakwa terbukti secara melawan hukum melanggar pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kuntjoro menyatakan banding atas vonis tersebut. "Hukuman itu berat bagi saya," ujarnya seusai sidang.

 

Sementara itu, perkara Lim Kin Yin sendiri hingga saat ini masih terus disidangkan. Ia didakwa bersama-sama dengan Kuntjoro melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan yang mereka lakukan, sesuai hasil pemeriksaan BPKP, telah menyebabkan kerugian negara lebih dari 70 miliar rupiah. Apakah Lim Kian Yin dan Kuntjoro juga menjadi sasaran pemerasan?

Kasus penjualan aset Industri Sandang telah membuat petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pusing tujuh keliling. Citra lembaga itu tercoreng. Kasus Industri Sandang seperti menjadi kerikil yang menyandung kiprah terpuji KPK selama dua tahun terakhir. Emas yang sudah ditoreh itu tiba-tiba luntur karena ulah seorang penyidiknya.

 

Adalah Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman yang menorehkan tinta hitam di tubuh KPK itu. Sebagai penyidik di sana, Suparman semestinya memberikan contoh betapa pentingnya komitmen penyidik dalam pemberantasan korupsi. Sebab, itulah misi dan jargon yang diemban Komisi dimana Suparman bertugas. Sayang, di balik tugas mulianya memeriksa orang-orang yang diduga terkait korupsi, Suparman justeru mencari keuntungan pribadi. Ia ditangkap sendiri oleh KPK karena diduga melakukan pemerasan terhadap saksi kasus Industri Sandang.

 

Gara-gara kasus ini, sejumlah petinggi KPK geram, kesal dan marah. Kasus ini adalah pukulan telak ke wajah lima orang pimpinan KPK, terutama sang ketua Taufiqurrahman Ruki yang berasal dari kepolisian. Meskipun demikian, KPK tetap menyimpan kuat siapa saksi yang melaporkan kasus ini.

 

Belakangan terungkap, Suparman tidak sendirian. Uang telah berseliweran seperti mata rantai yang membentuk mafia peradilan. Pemberian uang dari saksi kepada penyidik berlangsung dalam beberapa kali kesempatan. Keinginan kuat menjadikan KPK dan Pengadilan Tipikor bersih dari praktek suap menyuap tiba-tiba hilang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: