DPR Setujui RUU Perlindungan Saksi dan Korban
Berita

DPR Setujui RUU Perlindungan Saksi dan Korban

Setelah terkatung-katung selama empat tahun, akhirnya DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang-Undangan.

Lut
Bacaan 2 Menit
DPR Setujui RUU Perlindungan Saksi dan Korban
Hukumonline

 

Melalui juru bicaranya Yasonna Laoly (Sumut I), Fraksi PDIP mengingatkan agar dalam implementasi UU PSK ini, aparat penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) tidak melakukan diskriminasi terhadap saksi dan korban yang meminta perlindungan hukum. Dengan keterbatasan yang ada, Fraksi PDIP tetap menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU, tegasnya.

 

Fraksi Kebangkitan Bangsa menilai bahwa ada beberapa aturan dalam RUU ini yang perlu diperbaiki. Di antaranya dengan digunakannya istilah ancaman kekerasan (sesuai ketentuan di KUHP), ancaman kekerasan yang bersifat langsung atau tidak langsung, pendefinisian bentuk-bentuk ancaman yang meliputi ancaman fisik, dan ancaman psikis, definisi perahasiaan identitas, definisi identitas baru, definisi relokasi, definisi pendamping, definisi pekerja sosial, definisi perlindungan sementara, dan definisi program perlindungan.

 

Sementara itu, Fraksi PPP menekankan bahwa komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi dapat diukur dari kesigapannya dalam membentuk Panitia Seleksi sebagai bidang bagi lahirnya Lembaga SPK. Jangan sampai pengalaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terulang pada LSPK, ujar jubir Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin.

 

Masalah Krusial

Wakil Ketua Panja RUU PSK Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar mengakui bahwa selama pembahasan banyak substansi RUU PSK yang bersifat krusial dan menjadi perdebatan yang cukup panjang. Akibatnya tenggat waktu selalu terlampaui.

 

Seharusnya pembahasan UU PSK ini kelar pada April 2006 lalu. Namun, molor hingga 13 Juli 2006. Pembahasan pertama RUU PSK di Panja dimulai pada 24 Januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi pasal-pasal, pada 13 Juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU PSK.

 

Untuk masalah krusial yang muncul selama pembahasan di antaranya mengenai mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Artinya, Saat memberikan kesaksian, yang bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan jahat, jelasnya.

 

Demikian juga terhadap seorang saksi yang juga tersangka atau pelaku kasus yang sama. Masalah ini dirumuskan bahwa saksi tersebut tidak bisa dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya bisa dinilai dan dipertimbangkan oleh hakim dalam meringankan pidana yang telah dijatuhkan

 

Mengenai ketentuan pidana. Setelah mendengarkan pendapat fraksi-fraksi, pemerintah dan para ahli disepakati bahwa ketentuan pidana dalam RUU PSK ini menggunakan rumusan kumulatif. Dalam Bab ini diatur pula mengenai pengganti pidana denda bagi terpidana yang tidak mampu membayar denda dan pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara, ujarnya.

 

Sementara itu, Koalisi Perlindungan Saksi yang terdiri atas sejumlah LSM menilai RUU yang sudah disahkan ini masih belum memadai dan cenderung mengerdilkan makna. Hasil monitoring yang dilakukan oleh Koalisi Perlindungan Saksi atas hasil Panitia Kerja (Panja) DPR tersebut menunjukkan hal yang mengecewakan. Menurut mereka, ada beberapa pasal utama yang menjiwai RUU Perlindungan Saksi justru masih terpaku pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Hal senada dikemukakan Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan. Ia menegaskan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan penting dari draft terakhir yang kiranya perlu menjadi catatan. Salah satunya adalah Pasal 1 ayat (1) mengenai definisi saksi. Pengertian saksi tersebut masih merupakan copy paste dari KUHAP. Selain itu hampir semua hak, perlindungan, dan bantuan bagi saksi dan korban diperlemah. Keterbatasan definisi ini pada akhirnya berdampak pada membatasi hak-hak atas perlindungan saksi dan korban (Pasal 5).

 

Lalu Pasal 6 yang mengatur pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial bagi korban, hanya untuk kasus pelanggaran HAM berat saja. Dalam realitasnya, kebutuhan untuk mengakses bantuan medis dan rehabilitasi psiko sosial tersebut juga dimiliki oleh korban dalam berbagai kasus kekerasan yang dialami perempuan di luar kasus pelanggaran HAM berat.

 

Seorang saksi dan korban berhak:

 

1.      Memperolah perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya

 

2.      Ikut serta dalam proses memilih dan mennetukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan

 

3.      Memberikan keterangan tanpa tekanan

 

4.      Mendapat penerjemah

 

5.      Bebas dari pertanyaan yang menjerat

 

6.      Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

 

7.      Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

 

8.      Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

 

9.      Mendapatkan identitas baru

 

10.  Mendapatkan tempat kediaman baru

 

11.  Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

 

12.  Mendapat nasihat hukum

 

13.  Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

 

 

Sumber: DPR RI

 

Lembaga PSK

Dengan berlakunya UU ini, maka pemerintah dalam waktu paling lambat satu tahun harus sudah membentuk sebuah lembaga yang secara khusus bertugas menangani soal ini.

 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaga PSK) adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri, yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada DPR RI. Lembaga ini akan berkedudukan di ibu kota negara dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai keperluan.

 

Lembaga PSK beranggotakan 7 orang yang terdiri dari unsur profesional di bidang HAM, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau LSM. Syarat anggota LPSK adalah tidak pernah dipidana yang ancaman pidananya lima tahun, berusia 40-65 tahun, berpendidikan S-1, berpengalaman di bidang hukum dan HAM paling singkat 10 tahun, dan memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela.

 

Dalam rangka pemenuhan hak dan meberikan rasa aman kepada saksi dan korban terhadap perlindungan serta hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai ketentuan yang diatur dalam UU ini.

Pengesahan ini disepakati secara mutlak oleh 10 fraksi DPR RI dalam Sidang Paripurna yang digelar Selasa (18/7). Dengan disahkannya UU PSK ini bukan hanya melegakan 40 anggota DPR yang pertama kali mengusulkan pada Juni 2002 silam. Namun, UU PSK ini diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana korupsi sangat minim.

 

Selain itu, keberadaan UU PSK ini diharapkan menjadi terobosan di dunia peradilan Indonesia. Salah satu alasan diajukannya UU PSK ini karena ketentuan hukum acara pidana atau perundang-undangan lainnya belum memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

 

Hukum pidana formil di Indonesia yang ada selama ini adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU ini hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa atas kemungkinan pelanggaran HAM

 

Karena itu, keberadaan UU PSK ini akan menjadi motivasi bagi masyarakat untuk mengungkap kejahatan yang selama sering tidak terungkap. RUU PSK ini merupakan produk perundangan-undangan yang sangat penting. Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada anggota dewan yang terhormat dengan disahkannya UU PSK ini, kata Menteri Hukum & HAM Hamid Awaluddin mewakili presiden dalam Sidang Paripurna DPR RI di Jakarta Selasa (18/7).

 

Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soeryoguritno dari Fraksi PDIP ini berlangsung selama 3 jam. Sebelum pengesahan dilakukan, masing-masing fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan terakhir terhadap RUU PSK ini. Dari 10 fraksi, hanya Fraksi PDIP, Fraksi PPP dan Fraksi PKB yang memberikan catatan penting terkait dengan UU PSK tersebut.

Tags: