Mengapa UU KKR ‘Dicabut' MK?
Berita

Mengapa UU KKR ‘Dicabut' MK?

Mahkamah Konstitusi kembali membuat kejutan. Seluruh materi UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Semakin memperkokoh impunitas?

Red
Bacaan 2 Menit
Mengapa UU KKR ‘Dicabut' MK?
Hukumonline

Bagi sebagian korban peristiwa-peristiwa yang bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat, kini nyaris tak ada harapan untuk menyelesaikan kasus mereka. Tak ada lagi tempat mengungkap kebenaran. Tragedi Trisakti malah menjadi bola liar politik dan bahan debat kusir antara DPR dengan Kejaksaan Agung. Kini, pintu untuk mengungkap kebenaran kembali tertutup meskipun untuk sementara.

 

Pintu yang bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu harus layu sebelum berkembang. Payung hukumnya, yakni UU No. 27 Tahun 2004, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Materi UU KKR dinilai Mahkamah Konstitusi saling bertentangan. Tidak ada kepastian hukum dalam norma UU tersebut. Kalau tidak ada kepastian hukum, bagaimana mungkin bisa mengungkap kebenaran dan melakukan rekonsiliasi.

 

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa falsafah dan budaya bangsa Indonesia sangat menghargai HAM. Keanggotaannya Indonesia di Dewan HAM PBB juga menunjukkan pengakuan atas HAM yang menerima rekonsiliasi.

 

Sejatinya, para pemohon yang diwakili Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan hanya meminta pengujian 27, pasal 44 dan pasal 1 angka 9. Pasal 27 menyebutkan: Kompensasi dan rehabilitasi .....diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Berikutnya, pasal 44 menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan HAM. Amnesti, menurut 1 angka 9, adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

 

Korban harus menunggu

Ketua Mahkamah Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dengan dinyatakannya UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,  bukan upaya  berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.

Pada dasarnya banyak yang bisa dilakukan, yaitu melalui kebijakan hukum yang sesuai dengan UUD 1945 atau kebijakan politik seperti pemberian amnesti umum. Berdasarkan catatan hukumonline, amnesti umum pernah diberikan pada masa Presiden Habibie terhadap sejumlah tahanan politik dan pada masa Presiden SBY terhadap anggota GAM dengan cara memberikan kompensasi berupa tanah.

Namun putusan majelis tidak bulat. I Dewa Gede Palguna menyampaikan pendapat berbeda. Menurut hakim asal Pulau Dewata ini, jika UU KKR 'dicabut', kebenaran akan sulit diungkap. Sementara, pemulihan hak-hak korban sangat terkait dengan upaya pengungkapan kebenaran.

Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan mengatakan bahwa putusan Mahkamah akan membuat korban pelanggaran HAM harus bersabar menunggu. Sebab dengan putusan itu berarti, DPR dan pemerintah harus membuat regulasi baru yang menjamin rekonsialiasi nasional berlangsung.

Tags: