Mekanisme Pilkada Melalui Parpol Dinilai Tidak Sehat
Berita

Mekanisme Pilkada Melalui Parpol Dinilai Tidak Sehat

Boleh tidaknya calon independen kini tergantung pada putusan Mahkamah Konstitusi.

CRP
Bacaan 2 Menit
Mekanisme Pilkada Melalui Parpol Dinilai Tidak Sehat
Hukumonline

 

Dalam kesaksiannya, Abdul Radjak mengungkapkan, pintu bagi calon peserta Pilkada melalui jalur parpol sangat sulit ditebak, Penilaiannya tidak jelas. Mengenai hal ini, Nursyahbani  mengakui mekanisme di partainya sendiri juga tidak mengatur dengan tegas, penentuannya semacam 'like and dislike' saja.

 

Pernyataan ini menguatkan pengakuan Faisal Basri yang digaet kuasa hukum pemohon sebagai saksi di sidang itu. Kandidat yang jatuh bangun mencari dukungan parpol ini harus sakit hati karena ternyata kandidat lainnya terlanjur disayangi parpol. Kondisi serupa dialami juga oleh Sarwono Kusumaatmadja dan Abdul Rozak.

 

Pengamat Ekonomi asal UI itu memilih jalur lewat partai PDIP. Menurutnya, dari gerilya yang pernah dicobanya di sejumlah partai di antaranya PKB, PAN, PDS dan Partai Demokrat, yang paling jelas ada peraturan tertulisnya hanya PDIP.

 

Sementara  ahli yang didatangkan pemohon, Syamsuddin Haris, berpendapat sebaiknya UU Pemda membuka pintu bagi jalur non partai. Maksudnya, Perseorangan seharusnya bisa masuk, mencontoh Pilkada di Aceh. Seperti diketahui, UU tentang Keistimewaan Aceh membuka kesempatan calon dari luar jalur partai mengikuti Pilkada.

 

Syamsudin berpendapat, kalaupun memang tidak dibuka katup di luar jalur parpol, UU itu harus menyebutkan mekanisme baku partai untuk menerima calon perseorangan di luar partai. Selama ini, partai politik meski memang memproses semua pencalonan yang diajukan dari luar partai, namun dalam proses tidak pernah bisa dipahami dengan jelas. Syamsudin berpendapat bahwa sistem ini berpotensi menimbulkan praktek money politik atau dalam bahasa Ketua Forum Betawi Rempug (FBR) Fadloli El Muhir disebut Mas Kawin. Sependapat dengan Syamsudin, Nursyahbani menambahkan, Oligarki partai juga sangat kental terjadi. Sebab faktanya, hubungan antara partai politik dengan konstituennya dalam pengambilan keputusan sama sekali tidak ada, tambahnya.

 

Faisal Basri yang mengaku sakit hati dengan ketentuan UU Pemda ini,  mengambil contoh sama di Amerika dan Nigeria. Di Amerika yang sistem parpolnya sudah rapi dan mantap saja, ungkap Basri, akses untuk pencalonan di luar jalur partai tidak pernah ditutup, Walaupun calon independen tak pernah menang ujarnya. Ia juga menambahkan, Masa kita kalah dengan Nigeria yang sistem parpolnya saja masih dalam tahap mencari bentuk. Toh, menurut Faisal, pembukaan akses untuk calon di luar partai ini  pada akhirnya akan turut mengembangkan partai itu sendiri.

 

Totok Hasibuan, saksi yang pernah mencalonkan dalam Pilkada di Riau juga mengutarakan gejala di masyarakat pekanbaru yang menuntut dibukanya calon di luar partai. Ini terbukti ketika saya membikin kantor sekretariat sendiri dan ternyata banyak yang memberi dukungan, ujarnya. Itulah kenapa, masalah ini bukan semata dilihat dari gejolak Pilkada di DKI Jakarta, tapi seperti dituturkan Syamsudin, Sudah bisa dikatakan bertaraf nasional.

 

Urusan Intern Partai Politik

Berbeda dengan pendapatnya sebagai seorang aktivis, sewaktu memberikan keterangan mewakili DPR pada sidang itu, Nursyahbani mengatakan jika parpol tidak mencalonkan pemohon sebagai calon Gubernur/wakil gubernur, itu merupakan urusan intern partai politik. Bukan lantas mengkaitkan dengan ketentuan pasal-pasal dalam UU Pemda.

 

Melalui Nursyahbani, DPR juga menilai Pemohon tidak konsisten dalam mengemukakan fakta. Sebab, di satu sisi menyatakan masih aktif sebagai fungsionaris DPRD dari PBR. Sementara di sisi lain pemohon menyatakan dirinya tidak memiliki kendaraan politik  hingga menutup peluang mencalonkan diri.

 

Sebelumnya pada sidang  (22/5), Pemerintah melalui wakilnya, Ramli Hutabarat memaparkan frase ‘bakal calon perseorangan' yang terdapat pada pasal 59 ayat (3) UU Pemda bisa ditafsirkan sebagai calon independen. Sidang pleno uji materi UU Pemda kali ini dipimpin langsung Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Seorang ahli yang diajukan pemohon yakni pengamat politik Arbi Sanit  tidak hadir dengan alasan kurang jelas.

 

Kalimat itu terlontar dari Anggota Komisi III DPR RI yang  juga Wakil Dewan Pimpinan  (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) wilayah DKI Jakarta Nursyahbani Katjasungkana, usai sidang Pleno I pengujian UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (7/6). Nursyahbani datang sebagai wakil DPR untuk dimintai keterangan di hadapan majelis hakim konstitusi.

 

Menurut Nursyahbani, kebanyakan partai politik (parpol) lebih mementingkan bagaimana jalan  memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  ketimbang  mencari visi misi kandidat calon kepala daerah yang klop dengan platform partai. Semestinya parpol kan mengakomodir orang-orang yang punya platform sejalan dengan platform partai, ujarnya. Secara teoritis, ini juga bentuk dari pertanggungjawaban demokratis dari pengurus partai ke konstituennya.

 

Aktivis pembela perempuan ini menunjuk ketentuan pasal 59 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat dan memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

 

Pengujian UU No 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah diujikan oleh  anggota DPRD Lombok Nusa Tenggara Barat dari Partai Bintang Reformasi, Lalu Ranggalawe. Ia mempersoalkan anak kalimat …diusulkan partai politik atau gabungan partai politik  dibatalkan, sehingga memungkinkan calon kepala daerah independen. Menurutnya, pasal 56 ayat (2), pasal 59 ayat (2),( 3), (5) huruf a dan c,  ayat (6), serta Pasal 60 ayat (2) sampai dengan (5) bertentangan dengan UUD 1945 pasal 27 ayat (10), 28D ayat (1) dan (3), serta pasal 28I ayat (2). UU Pemda adalah UU yang menduduki peringkat tertinggi sebagai UU yang paling sering diuji materiilkan di MK.

 

Nah, klausul demokratis dan transparan ini menurut Nursyahbani, baik dalam Undang-undang  maupun aturan partai mekanismenya  tidak diatur secara tegas. Sehingga seseorang yang sebenarnya memiliki platform sejalan dengan partai, justru kerap terjegal. Seperti kata kandidat calon gubernur DKI Jakarta Abdul Radjak yang hadir sebagai saksi pemohon, Ada input, tiba-tiba keluar output, tanpa kita pernah tahu proses atau mekanismenya bagaimana .

Tags: