Rapat internal Komisi III yang digelar sebelum pemilihan menyepakati sistem pemilihan dilakukan melalui voting one man one vote, bukan voting per fraksi. Mekanismenya setiap anggota Komisi III harus menyerahkan enam nama. Lebih dari itu dianggap gugur. Kurang dari itu, surat suara tetap dihitung. Dari 46 orang keseluruhan anggota komisi III DPR, pemungutan suara dihadiri oleh 42 orang.
Dari perolehan suara, terpilih empat hakim karir dan selebihnya hakim non karir. Adanya dua hakim non karier mungkin jauh dari idaman MA. Namun dari empat hakim karir, salah satunya berasal dari hakim Pengadilan Agama yakni Mukhtar Zamzani. Ini praktis sudah sesuai kebutuhan MA. Namun satu hakim Peradilan TUN yang diminta MA ternyata tidak terpenuhi. Kita tidak bisa mengatakan apa-apa, setelah melakukan proses pemilihan secara demokratis melalui voting, hasilnya muncul seperti itu, ujar Trimedya.
Menurut Zainal Abidin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, voting yang dilakukan Komisi III nampak belum murni per anggota, melainkan masih sarat kekuatan fraksi. Hal itu, ujarnya, nampak dari banyaknya anggota fraksi tertentu yang memiliki suara hampir sama.
Agaknya Zainal tak sekedar menganalisa kosong. Anggota Komisi III Benny K Harman dari Fraksi Demokrat sebelum dimulai voting malah dengan bangga mengatakan, fraksinya sudah sepakat akan memilih 4 karier dan 2 non karier.
Hasil Perolehan Suara Calon Hakim Agung
| Nama Calon Hakim Agung | Profesi Terakhir | Perolehan Suara |
1 | M Hatta Ali | Dirjen Badilum Mahkamah Agung | 41 |
2 | Prof Komariah E Sapardja | Dosen FH Universitas Padjadjaran | 30 |
3 | Mukhtar Zamzami | Ketua PTA Palembang | 25 |
4 | M Zaharuddin Utama | Ketua PT Manado | 24 |
5 | Mohammad Saleh | Wakil Ketua PT Tanjung Karang | 19 |
6 | Abdul Gani Abdullah | Kepala BPHN Dephukham | 17 |
7 | Achmad Ali | Dosen FH Universitas Hasanuddin | 16 |
8 | Sanusi Husin | Dosen Universitas Lampung | 13 |
9 | Mahdi Soroinda Nasution | Hakim Tinggi PT Bandung | 13 |
10 | Khalilurrahman | Ketua PTA Semarang | 11 |
11 | Abdul Wahid Oscar | Hakim Tinggi Pengawas | 10 |
12 | Bagus Sugiri | Ketua PT Palu | 9 |
13 | Bukaidi Zulkifli | Ketua OT Kendari | 9 |
14 | I Ketut Suradnya | Ketua PT TUN Makassar | 6 |
15 | Robert Sahala Gultom | Mantan Jaksa | 2 |
16 | Prof Sudjito | Guru Besar FH UGM | 2 |
17 | Anang Husni | Dosen Universitas Mataram | 1 |
18 | Achmad Ubbe | Staf Ahli Menteri Dephukham |
|
Sumber: Rapat Pleno Pemilihan Hakim Agung Komisi III DPR
Keterangan: huruf cetak hitam jalur karier, cetak biru, jalur non karier.
Mengambinghitamkan KY
Usai pemungutan suara, Trimedya mengaku sebenarnya ia merasa berat harus memilih enam dari 18 nama yang ia nilai Kualitasnya rata-rata mengecewakan. Sementara Akhil Mukhtar malah mengatakan tak akan memilih satupun dari 18 nama calon. Pernyataan ini dikatakan politisi asal Partai Golkar itu pada Kamis (5/7) malam, sesaat setelah proses uji kelayakan terhadap 18 calon hakim usai.
Menurutnya, dari 18 nama itu sama sekali tidak ada yang memagut hatinya. Padahal sistem seleksi sudah melalui dua lapis, melewati KY baru DPR. Kalau empat tahun yang lalu sebelum ada KY, dengan calon seperti ini, saya masih bisa memaklumi. Namun Akil tetap muncul menggunakan hak suaranya ketika voting berlangsung.
Pengkambinghitaman pada KY ini dinilai sebagai langkah sembunyi tangan DPR. Denny Indarayana menganggap Komisi III yang meloloskan enam nama sudah terjebak pada pertimbangan angka (kuantitas). Ia terutama kecewa karena DPR banyak meloloskan hakim karier. Padahal menurut Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) ini, sudah menjadi rahasia umum hakim karier sulit diharapkan membuat pembaharuan Peradilan dengan l'esprit de corp mereka yang masih kental.
Sementara anggota Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) sekaligus Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) Hasril Hertanto mengaku hasilnya tidak begitu mengecewakan. Setidaknya, nama-nama Komariah E Sapardjadja, Mukhtar Zamzani dan Abdul Gani Abdullah termasuk yang diacungi jempol oleh KPP. Ia juga menilai baik KY maupun DPR nampak kurang memperhatikan kebutuhan riil MA. Seharusnya dalam voting sudah dibagi atas calon yang mana saja untuk peradilan umum, mana untuk peradilan agama dan TUN. Dia mengusulkan voting dikotak-kotakkan sesuai kebutuhan MA.
Sayang, sejak awal KY juga tidak memperhatikan komposisi yang bisa membuat DPR memungkinkan untuk memilih dengan cara itu. Pasalnya, calon hakim karier dari Peradilan TUN yang diloloskan hanya semata wayang. Selebihnya dari non karier juga tidak ada yang berbasis akademis minimal Hukum Administrasi Negara.
Boleh jadi pendapat Hasril tepat. Ke-18 calon hakim agung usulan KY memang belum mengakomodir kebutuhan MA. Sebab, dari 18 nama, KY hanya menyetor satu nama untuk Peradilan TUN. Idealnya, kalau MA membutuhkan satu, mestinya disediakan tiga pilihan buat DPR, ujarnya. Dengan kata lain, KY memang tak memberi cukup alternatif buat DPR memilih hakim agung TUN.
Kuncinya komunikasi
Mengenai persoalan ini, Trimedya pun sampai mengatakan, Harusnya KY lebih memperhatikan kebutuhan user. Usernya kan MA. Tapi dia menganggap pencarian hakim agung ini sebagai pelajaran bagi KY, DPR dan juga MA untuk seleksi ke depan. Kuncinya, ujar dia, baik KY-MA dan DPR harus terjalin komunikasi yang harmonis.
Trimedya menilai KY selama ini kurang berkomunikasi dengan MA. Dulu seleksi tahap I malah tidak ada komunikasi, baru ketika kami minta dikomunikasikan baru membuat pertemuan. Itu juga cuma dilakukan satu kali, ujarnya. Akibat kurangnya komunikasi kedua lembaga ini, akhirnya KY harus menggelar seleksi lagi yang memakan lebih banyak biaya dan waktu.
Hasril juga berpendapat demikian. Seharusnya sejak awal KY, DPR dan MA duduk semeja dan membicarakan kebutuhan hakim agung dengan lebih intens. Selain itu, baik KY maupun DPR jangan terlalu memprioritaskan kuantitas jika memang kualitas khususnya integritas calon hakim belum didapatkan.Intinya, akibat buruknya komunikasi ketiga lembaga, walhasil DPR tidak sreg dengan calon yang diusung KY dan hasil pilihan DPR pun belum bisa memenuhi kebutuhan riil hakim agung di MA.
Akhirnya Komisi III DPR memilih enam hakim agung dengan komposisi empat dari hakim karier sedang sidanya hakim non karier dalam rapat kemarin (6/7). Sayangnya banyak anggota Komisi III DPR mengeluhkan kualitas calon hakim yang disorongkan Komisi Yudisial (KY). Karena persoalan inilah sempat terjadi perbedaan pendapat antara sejumlah anggota Komisi III, apakah mereka bakal meloloskan enam calon hakim agung atau kurang dari itu.
Namun akhirnya Komisi yang membidangi hukum itu memilih enam hakim. Alasannya, seperti dikemukakan Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan, mereka terikat Surat Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Surat itu meminta KY menggenapi calon hakim yang semula hanya menyodorkan enam calon supaya menggenapi jadi 18 untuk dipilih sepertiganya.
Trimedya memang sejak awal bersikukuh memilih enam nama. Sebab, ia tak mau Komisi III DPR dibilang plin-plan. Meski kualitas input calon hakim sodoran KY secara kualitas banyak dibilang memprihatinkan, DPR mesti konsekuen dengan Surat Bamus, ujarnya usai sidang pengambilan suara di gedung DPR Jakarta Jum'at (6/7).
Sementara Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan saat rapat konsultasi DPR-MA sepekan lalu berharap agar selain sisi kualitas dan integritas, pemilihan hakim agung di DPR juga memperhatikan komposisi yang dibutuhkan MA. Maksudnya antara lain perbandingan hakim karier dan non karier. Menurutnya, hakim non karier yang ada di MA sudah lebih dari cukup. Selain itu, dari enam yang bakal dipilih DPR, setidaknya MA memerinci agar dihasilkan 4 untuk Peradilan Umum, dan masing-masing satu untuk Peradilan TUN dan Agama.