Ketua MA Gugat Eksistensi PHI
Utama

Ketua MA Gugat Eksistensi PHI

Selain dianggap tidak netral, pertentangan hakim ad hoc pekerja dan pengusaha dianggap memperlambat pemeriksaan perkara. Bagir usulkan kaji ulang UU PPHI.

NNC/Kml
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Gugat Eksistensi PHI
Hukumonline

 

Terkait tak tercapainya peradilan cepat, Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) dan Dosen Hukum Perburuhan Surya Chandra berpandangan masalah terdapat di MA. Karena, menurutnya, sebagian besar hakim di PHI (tingkat pertama) taat pada pembatasan 50 hari. Soal Pengadilan Tinggi sebagai pemeriksa perkara ditingkat akhir, hal itu tidak masalah asal jelas dan ada putusan yang adil.

 

Menurut Surya sistem yang ada saat ini bisa dipertahankan, dengan beberapa perubahan. PHI dapat menjadi semacam kombinasi pengadilan perdata dengan pengadilan tata usaha negara. Acara tidak rumit dan hakim bisa aktif ujarnya.

 

Intinya buat buruh ialah penyelesaian yang cepat murah dan sederhana. Tempat (MA atau PT-red) tidak menjadi persoalan selama hakimnya paham ujar Surya. Yang banyak dikeluhkan Bagir ialah masalah administrasi, itu bukan alasan. Kalau mau perbaiki, perbaiki sistem hukum acara ujar Surya.

 

Dimata praktisi Hukum Ketenagakerjaan Willy Fariyanto, sistem PHI yang ada kini sudah baik bila dibanding sebelumnya. Dulu, ujarnya mengingatkan, proses penyelesaian perselisihan terlalu panjang. Pertama di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), berlanjut Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Putusan P4P pun masih dapat diperkarakan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan dan Putusannya masih dapat ajukan dikasasi.

 

Penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang berlaku kini dinilainya sudah baik, setidaknya di pengadilan tingkat pertama.

 

Penyingkatan seperti penghilangan replik-duplik bila dikehendaki para pihak dan selama tidak ada yang mengajukan eksepsi seperti yang dilaksanakan di Jakarta, menurutnya juga sudah baik. Proses gugatan, kemudian jawaban, yang disusul pembuktian sudah pas tuturnya.

 

Penunjukan PT sebagai puncak, dinilainya juga akan merepotkan. Perubahan ini menuntut revisi terhadap banyak Undang-Undang, termasuk UU Kekuasaan Kehakiman. Sekarang sudah baik, asal SDM (sumber daya manusia-red) ditambah, jadwal sidang lebih ditata, dan manajemen perkara lebih baik ujarnya. Lamanya putusan keluar sifatnya administratif dan dapat dibenahi.

 

Netralitas hakim ad hoc

Keberpihakan hakim ad hoc PHI juga disoroti Bagir. Hakim ad hoc PHI mewakili dua kepentingan yang bukan saja berbeda tetapi dapat bertentangan, yaitu hakim dari unsur pekerja dan hakim dari unsur pengusaha ujarnya.

 

Selain itu menurutnya, dua kepentingan berbeda ini tidak jarang menyulitkan pemeriksaan perkara. Disamping itu, hakim ad hoc yang pada umumnya belum berpengalaman beracara di pengadilan, ikut mempersulit penegakkan hukum secara cepat.

 

Penyelesaiannya menurut Bagir, sistem hakim ad hoc yang mewakili pekerja dan pengusaha harus ditiadakan. Jadi, pemeriksaan perkara PHI cukup dilakukan oleh hakim biasa. Kalaupun tetap dipertahankan, hakim ad hoc bukan sebagai perwakilan pekerja dan pengusaha, melainkan dari orang-orang terpilih atau ditunjuk karena keahliannya ujarnya menjelaskan.

 

Soal netralitas, Surya berpandangan hakim netral sebatas mitos. Selama mereka memiliki argumen hukum isu netralitas tidak masalah. Sebagai pelaku hukum ketenagakerjaan mereka bisa memberi gambaran riil situasi ketenagakerjaan. Tidak masalah, memang harus begitu ujarnya.

 

Menurut Surya, dalam UU PPHI keberadaan hakim ad hoc berfokus pada pemahaman materi, bukan hukum acara. Pengandaian UU, menurutnya hakim ad hoc diperlukan agar ada pihak yang memang mengerti persoalan dan dimintai bantuan. Ad hoc itu artinya ahli tambah Surya._

 

Ia mencontohkan, di Jerman persidangan awalnya dipimpin seorang hakim yang melakukan fungsi dismissal (pemerikasan pendahuluan) dan menawarkan perdamaian di persidangan. Kalau perdamaian tidak tercapai, baru dipanggil hakim ad hoc. Hakim ini khusus dipanggil bila ada kasus. Mereka yang datang dari buruh dan pengusaha dianggap mengerti masalah perburuhan.

 

Senada dengan Surya, Willy menganggap hakim ad hoc merupakan pihak yang mengerti masalah ketenagakerjaan. Pendekatannya nggak bisa hukum secara kaku ujarnya. Ia beranggapan dengan keberadaan hakim ad hoc yang mengerti masalah ketenagakerjaan, pencarian keadilan lebih bisa terjamin.

 

Biaya perkara

Menggenapi kritiknya, Bagir Manan juga mempermasalahkan pembebanan biaya perkara pada negara dalam perkara PHI. Adalah sebuah anomali, menurut Bagir, bila biaya pengusaha yang sudah kaya raya harus ditanggung oleh Negara saat mereka berselisih dengan pekerjanya. Semua dibebankan kepada negara. Ada ribuan perkara PHI yang harus ditanggung Negara ujarnya. Menurut UU PPHI, perkara yang bernilai lebih dari Rp150 juta, ditanggung pihak yang kalah. 

 

Menutup kritiknya, Bagir berpandangan sebaiknya negara tidak memikul beban perkara PHI, kecuali bila ada keterangan tak mampu untuk beracara cuma-cuma.

Keberadaan hakim adhoc yang tidak netral, sistem peradilan yang (tidak) cepat terkait tumpukan perkara, dan beban biaya perkara yang ditanggung negara disebut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai ‘anomali' Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Selain menyarankan pengkajian ulang terhadap PHI, menurutnya perlu dibentuk badan penyelesaian perselisihan perburuhan di luar pengadilan. Demikian antara lain isi pidato sambutan Bagir di Rakernas MA 2007, yang dimulai hari Senin (3/9) di Makassar.

 

Peradilan yang cepat menjadi masalah utama yang disoroti Bagir. Lewat sistem beracara seperti sekarang, menurutnya tidak mungkin perselisihan selesai dengan cepat, meski tanpa proses banding. Beberapa pihak berperkara sempat mengeluhkan lambannya putusan turun.

 

Secara implisit Bagir mengakui lambannya penyelesaian perselisihan perburuhan tidak lepas dari banyaknya urusan MA. Mahkamah Agung adalah tempat terakhir upaya hukum dari seluruh lingkungan pengadilan, ditambah dengan berbagai tugas khusus seperti permohonan HUM (hak uji materiil-red), permohonan pendapat hukum, perkara pemilihan Gubernur, dan lain-lain. Tidak mungkin memaksa Mahkamah Agung memberikan perhatian khusus perkara PHI dengan mengenyampingkan perkara-perkara lain, tuturnya.

 

Puncaknya, menurut Bagir perlu ada pengkajian ulang terhadap PHI. Ia mengusulkan supaya penyelesaian perkara PHI tidak dilakukan pengadilan, tapi oleh ‘badan yang bukan merupakan badan peradilan'. Sebagai contoh, ia mengusulkan dibentuk Badan Mediasi Nasional Penyelesaian Sengketa Perburuhan. Apabila pengadilan dibutuhkan, menurutnya pengadilan tinggi-lah (PT) tempat yang tepat untuk itu.

 

Keluh kesah Bagir sepertinya dilatarbelakangi pembentukan beragam badan peradilan khusus, termasuk PHI. Belum lagi Pengadilan Perikanan yang akan segera beroperasi, serta wacana pembentukan peradilan khusus lingkungan dan ide baru pengadilan khusus untuk perkayuan. MA juga pernah menyampaikan keluhan karena tidak dilibatkan dalam pembentukan badan tersebut.

Tags: