Penerima Beasiswa Ajukan Intervensi
Gugatan Soeharto-Supersemar

Penerima Beasiswa Ajukan Intervensi

Gugatan perdata Soeharto ini dikhawatirkan akan mempengaruhi keberlangsungan penerima beasiswa.

IHW
Bacaan 2 Menit
Penerima Beasiswa Ajukan Intervensi
Hukumonline

 

Masih menurut Yuntri, indikasi akan hal itu jelas terlihat. Ia berpendapat, kalau Kejaksaan merasa sudah memiliki bukti yang cukup untuk mengungkap dugaan penyelewengan dana di Yayasan Supersemar, maka seharusnya bukti itu diajukan untuk membatalkan SP3 Kejagung dalam kasus pidana.

 

Seharusnya ini (pembatalan SP3, red) yang dilakukan Kejaksaan untuk kembali melakukan penyidikan dalam perkara pidananya. Kok Kejaksaan malah mengajukan gugatan perdata. Ada apa di balik ini semua? katanya geram.

 

Kesan memaksakan perkara perdata ini, tambah Yuntri, juga terlihat dari langkah kejaksaan yang menabrak aturan hukum yang mengatur tentang Yayasan, Undang-undang Nomo 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No 28 Tahun 2004. UU itu, kata Yuntri, sudah memberikan beberapa kewenangan kepada alat kelengkapan untuk melakukan pengawasan internal.

 

Sudah ada Dewan Pengawas yang oleh Undang-undang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan yayasan. Jadi tidak seperti ini. Kejaksaan yang notabene adalah pihak di luar yayasan seharusnya tidak semudah ini mencampuri urusan yayasan, bebernya.

 

Sementara Dachamer Munthe, koordinator Jaksa Pengacara Negara (JPN) kepada hukumonline membantah semua dalil yang dikemukakan Yuntri. Menurut Dachamer, kekhawatiran KMA-PBS sangat tidak beralasan dan mengada-ada.

 

Gugatan kita bukan bertujuan untuk mengutak-atik dana beasiswa yang mereka (KMA-PBS, red) terima. Justru kita berharap agar lebih banyak masyarakat lainnya memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa itu, jelas Dachamer.

 

Dachamer juga menepis tudingan yang menyebutkan adanya unsur non yuridis yang menunggangi perkara ini. Ia menjelaskan, keterlibatan pemerintah yang memberikan kuasa kepada Kejaksaan dalam perkara ini, tidak lain karena adanya dana publik yang dialirkan dari Bank milik pemerintah kepada yayasan. Di dalam (Yayasan  Supersemar, red) itu ada dana publik. Masak dibiarkan saja ketika diketahui ada penyelewengan penggunaannya? sergahnya.

 

Kalau dalil mereka yang mendasarkan pada UU Yayasan, saya malah mempertanyakan, kemana saja para dewan pengawas atau organ lainnya ketika melakukan pengawasan atas jalannya yayasan? Pokoknya, saya nilai gugatan intervensi itu, salah kaprah, Dachamer menegaskan.

 

Sudah sesuai AD/ART

Seperti diwartakan sebelumnya, Soeharto dan Yayasan Supersemar digugat oleh pemerintah karena dianggap secara melawan hukum menyalahgunakan dana yang dihimpun dari sejumlah bank milik pemerintah, yang sedianya disalurkan dalam bentuk beasiswa kepada mahasiswa dan pelajar yang dinilai berprestasi tapi tidak cukup beruntung dalam masalah finansial.

 

Kejaksaan mencatat, dalam kurun waktu 1982 hingga 2003, paling tidak terdapat 7 aliran dana yang tidak semestinya. Total dana beasiswa yang diselewengkan mencapai AS$420 juta dan Rp185,9 miliar. (lihat boks)

 

Tanggal

Jumlah Dana

Penerima

22 September 1990

AS$125 juta

Bank Duta

25 September 1990

AS$19, 959 juta

Bank Duta

26 September 1990

AS$275, 043 juta

Bank Duta

23 September 1989 dan 12 October 1997

Rp13, 175 miliar

Sempati Air

13 October 1995

Rp150 miliar

Kiani Sakti dan Kiani Lestari

Desember 1982 dan Mei 2003

Rp12,744 miliar

PT Kalhold Utama, PT Essam Timber, dan PT Tanjung Redep

28 Desember 1993

Rp10 miliar

Kelompok Usaha Kosgoro

Sumber: berkas gugatan

 

Dimintai tangggapannya, Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Soeharto menjelaskan, pada prinsipnya semua operasionalisasi yayasan sudah sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yayasan. Apa yang dilakukan yayasan secara operasional sudah sesuai dengan AD/ART. Apapun itu, baik ke pihak ketiga, semuanya sesuai dengan AD/ART yayasan, tandasnya.

 

Isi gugatan tak berubah

Sebelum gugatan dibacakan, Wahjono hakim yang memimpin persidangan, menanyakan terlebih dahulu mengenai ada tidaknya perubahan materi gugatan. Atas sodoran pertanyaan hakim, Dachamer Munthe menyatakan tidak ada perubahan, baik materi maupun redaksional.

 

Gugatan setebal 11 halaman itu kemudian dibacakan bergantian oleh 12 JPN. Usai pembacaan Denny Kailimang, salah satu kuasa hukum Soeharto, meminta agar penggugat memperbaiki redaksional gugatan.

 

Di dalam gugatan disebutkan H.M Soeharto alias Soeharto. Kami meminta agar penggugat menghapuskan kata ‘alias Soeharto' karena tidak ada nama itu, Digertak demikian, JPN tidak lantas menciut. Dachamer malah menegaskan bahwa gugatannya tidak akan ada perbaikan.

 

Setelah gugatan dan ‘debat kecil' perihal formalitas gugatan berakhir. Hakim lantas mempersilakan kepada KMA-PBS untuk membacakan permohonannya.

 

Sidang akan dilanjutkan pekan mendatang, Senin (1/10) dengan agenda tanggapan dari masing-masing pihak atas intervensi.

Gugatan yang dilayangkan oleh pemerintah kepada mantan presiden Soeharto dan Yayasan  Supersemar, tampaknya membikin gerah para penerima beasiswa berikut alumninya. Agenda utama persidangan yang berlangsung pada Senin (24/9) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sejatinya adalah pembacaan gugatan oleh penggugat.

 

Namun, mereka yang mengaku tergabung di dalam Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS), melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan untuk menjadi pihak intervensi, selepas peggugat membacakan gugatannya.

 

Selepas persidangan, Muhammad Yuntri, kuasa hukum KMA-PBS menjelaskan alasan permohonan intervensi adalah kekhawatiran terpengaruhnya aliran dana beasiswa Supersemar. Padahal ada sekitar 1 juta orang anggota KMA-PBS yang menaruh harapan besar pada beasiswa Supersemar ini, Yuntri menjelaskan.

 

Lebih jauh Yuntri menyebutkan, kekhawatiran terbesar yang harus diantisipasi adalah jika PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Jaksa. Putusan seperti itu, menurutnya, hampir dapat dipastikan berujung pengadilan masalah pengurusan yayasan dan aset-asetnya kepada pejabat publik.

 

Kondisi ini lebih berbahaya lagi karena jika salah pilih, jangan-jangan oknum pejabat yang melakukan pengurusan yayasan lah yang melakukan penyelewengan dana yayasan. Ini sangat mungkin, dimana dana yang seharusnya dijadikan sumber beasiswa, justru dilarikan untuk kepentingan politis tertentu, ungkap Yuntri.

Tags: