UU Minerba Bak Ular Berganti Kulit
Berita

UU Minerba Bak Ular Berganti Kulit

UU Minerba yang baru disahkan DPR terus menuai kritik. Selain dianggap melanggengkan rezim keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia, UU tersebut juga dinilai menghambat investasi.

CR-2
Bacaan 2 Menit
UU Minerba Bak Ular Berganti Kulit
Hukumonline

 

Seandainya UU Minerba ini ditetapkan jauh sebelum pertambangan sudah di peta-peta kan seperti sekarang, mungkin hal itu jauh lebih baik. Namun untuk saat ini, UU Minerba tidak bisa menjamah hak wilayah konsesi yang sudah diterbitkan sebelumnya, papar Maimunah.

 

Disamping itu, Jatam beranggapan banyak pasal dalam UU Minerba yang memposisikan rakyat dalam posisi jomplang. Dalam hal ini, Jatam mengkritisi Pasal 145 ayat (1) tentang Perlindungan Masyarakat. Ya, kalau dari namanya, pasal ini memang terlihat bersahaja dan peduli masyarakat. Tapi jangan salah, kata Maimunah, pasal ini berfungsi sebagai kedok untuk menenangkan masyarakat semata.

 

Pasal tersebut menyebutkan masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perunang-undangan. Selain itu, bisa juga mengajukan gugatan pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi aturan.

     

Pasal itu, kata Maimunah, menginsyaratkan bahwa Veto rakyat tidak diakui. Dalam hal ini, rakyat hanya memiliki dua pilihan, yakni ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan. Bahkan, rakyat beresiko dipidana selama setahun dan denda Rp100 juta, jika menghambat kegiatan pertambangan. Ini lebih represif dibanding UU sebelumnya. Sementara, konflik-konflik yang lahir dari penerapan UU sebelumnya tak disediakan ruang penyelesaian dalam UU Minerba, tambahnya.

 

Pasal lain yang disorot adalah Pasal 91 yang menyebutkan, Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Menurut Maimunah, pasal ini jelas merugikan masyarakat. Dibebaskannya perusahaan tambang dalam menggunakan sarana publik, maka yang akan dirugikan bukan hanya masyarakat melainkan pemerintah daerah. Misal di Kalimantan Selatan, kata Maimunah. Di Kalsel, jalan yang seharusnya digunakan oleh 8 ribu kendaraan perhari, bisa dilewati hingga 9 ribu lebih kendaraan. Dan jumlah itu yang paling banyak adalah truk-truk pengangkut batu bara.

 

Sebanyak 27 persen jalan-jalan yang dilewati oleh truk batu bara menjadi rusak berat. Belum lagi efek pemakaian jalan tersebut, bisa menimbulkan kecelakaan atau infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Artinya, UU ini memberi ruang terhadap keburukan-keburukan, dan yang menanggung biaya adalah masyarakat lokal dan APBD, cetusnya.

 

Seret invetasi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Sumarno mengatakan, UU Minerba yang baru tidak menarik untuk investasi. Menurutnya, Kesepakatan-kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang disebutkan dalam UU tersebut, ditambah harga komoditi pertambangan yang rendah, akan membuat Indonesia seret investasi baru di sektor pertambangan setidaknya sampai empat tahun ke depan.

 

Menurut Priyo, ada empat poin penting yang membuat UU itu tidak menarik untuk berinvestasi. Pertama, soal perizinan. Dalam hal ini perusahaan tambang harus dimintakan dua kali perizinan dan diberi waktu 20 tahun untuk masa eksplorasi dan produksi. "Jangka waktu yang diberikan cuma 20 tahun. Padahal untuk investasi besar tidak bisa dibatasi seperti itu. Untuk mengejar balik modal saja, jangka waktu segitu terlalu singkat," kata Priyo.

 

Soal berikutnya terkait keharusan pembangunan smelter. Priyo menjelaskan, tidak semua perusahaan kecil bisa menyediakan fasilitas untuk membangun smelter. Soalnya, untuk membangun smelter, perusahaan harus menyediakan anggaran tembahan yang cukup besar. Persoalan lainnya adalah masalah luas lahan yang akan ada evaluasi dan dikurangi. Padahal, kata Priyo, perusahaan tambang selalu menggunakan asas konservasi dan bila perusahaan itu dapat areal pertambangan maka tidak semuanya ditambang, tambahnya.

Lagi, Undang-undang (UU) yang baru disahkan DPR mendapat tanggapan miring. Kali ini UU Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang menuai kritik. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai UU baru pengganti UU No. 11 Tahun 1967 itu tak ubah seperti ular berganti kulit. Menurut Jatam, UU tersebut makin melanggengkan rezim keruk cepat dan jual murah bahan tambang Indonesia, yang jelas tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

 

Seperti diketahui, UU Minerba yang disahkan Selasa (16/12) lalu, diwarnai walk out tiga fraksi dari ruang rapat paripurna. Ketiga fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Fraksi Partai Keadilan Sosial (FPKS). Entah, tindakan walk out itu rekayasa politik atau bukan, yang pasti Jatam menyayangkan, kalau ketiga fraksi itu hanya memperkarakan pasal peralihan. Kabarnya, pasal itu merupakan hasil kompromi partai-partai penguasa di Senayan, yang selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan.

 

Celakanya lagi, partai-partai penguasa Senayan sama sekali tidak memperkarakan hal-hal mendasar, yaitu pasal-pasal dari UU Minerba yang tidak menapak realita masalah pertambangan di Indonesia yang telah berlangsung empat dekade lebih, kata Koordinator Jatam Siti Maimunah saat konfrensi pers di kantor Jatam. 

 

Menurut Maimunah, ada beberapa hal krusial dalam UU Minerba, seperti sama sekali tidak menyentuh pengkajian ulang dan renegosiasi Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), dan Kuasa Pertambangan (KP). Dalam prakteknya, konsesi tambang yang diberikan pada masa rezim Orde Baru maupun rezim Otonomi Daerah sudah banyak sekali. Dimana sebagian besar konsesi telah dikuasai pemegang KK dan PKP2B. Sementara, di UU ini keduanya tidak tersentuh, katanya.

 

Selain itu, pasal-pasal UU Minerba akan menambah carut marut dan memperparah konflik agraria. Ya, pembatasan wilayah pertambangan maksimal 25.000 hektare tampaknya lebih maju karena akan memberikan batasan yang maksimal kepada perusahaan tambang. Namun, kata Maimunah, perusahaan tambang bisa saja memiliki luas konsesi yang sama dengan UU sebelumnya, jika memiliki beberapa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam sebuah wilayah pertambangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: