Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Bercerai dengan Alasan Sudah Pisah Ranjang?

Share
Keluarga

Bisakah Bercerai dengan Alasan Sudah Pisah Ranjang?

Bisakah Bercerai dengan Alasan Sudah Pisah Ranjang?
Renie Aryandani, S.H.Si Pokrol

Bacaan 5 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Bagaimana jika seorang suami istri pisah ranjang selama lebih dari satu tahun? Apakah pisah ranjang bisa dinyatakan sah cerai menurut undang-undang?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Istilah pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed) sebenarnya merujuk pada KUH Perdata. Namun, aturan mengenai pisah ranjang yang diatur menurut KUH Perdata, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai dengan Pasal 66 UU Perkawinan.

    Lalu, benarkah jika pisah ranjang sudah dianggap sah bercerai?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Gugat Cerai karena Suami Tidak Memberikan Nafkah?

    10 Mei, 2024

    Bisakah Gugat Cerai karena Suami Tidak Memberikan Nafkah?

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 12 Agustus 2013, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Haris Satiadi, S.H. dari Haris Satiadi & Partners pada 3 April 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Alasan Perceraian

    Pada dasarnya, Pasal 19 PP 9/1975 jo. Pasal 116 KHI mengatur bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan:

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
    6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
    7. Suami melanggar taklik-talak;
    8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

    Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa baik dalam PP 9/1975 maupun KHI, aturan hukum tidak mengkategorikan pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed) sebagai alasan perceraian.

    Baca juga: Pembuktian Zina sebagai Alasan Perceraian

    Pisah Ranjang = Cerai?

    Adapun istilah pisah meja dan tempat tidur atau scheiding van tafel en bed[1] sebenarnya merujuk pada Pasal 233 s.d. Pasal 249 KUH Perdata. Namun, aturan mengenai pisah ranjang yang diatur menurut KUH Perdata, dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai dengan Pasal 66 UU Perkawinan.

    Walaupun istilah pisah meja dan tempat tidur sudah dinyatakan tidak berlaku, namun dalam praktik persidangan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama, istilah pisah ranjang digunakan oleh hakim sebagai indikator kondisi rumah tangga. Hal ini nampak dalam SEMA 4/2014 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut.

    Berdasarkan Lampiran SEMA 4/2014 dalam Rumusan Hukum Pleno Kamar Peradilan Agama nomor 4, gugatan cerai dapat dikabulkan jika fakta menunjukkan rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dengan indikator antara lain (hal. 15-16):

    1. Sudah ada upaya damai tetapi tidak berhasil;
    2. Sudah tidak ada komunikasi yang baik antara suami istri.
    3. Salah satu pihak atau masing-masing pihak meninggalkan kewajibannya sebagai suami istri;
    4. Telah terjadi pisah ranjang/tempat tinggal bersama;
    5. Hal-hal lain yang ditemukan dalam persidangan (seperti adanya wanita idaman lain, pria idaman lain, Kekerasan dalam Rumah Tangga/”KDRT”, main judi, dll).

    Kemudian sebagai informasi, ketentuan dalam SEMA 4/2014 tersebut disempurnakan dengan SEMA 3/2018 yang menyempurnakan Rumusan Hukum Pleno Kamar Peradilan Agama nomor 4 sehingga berbunyi:

    • Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama dalam mengadili perkara perceraian, karena perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral, mengubah status hukum dari halal menjadi haram, berdampak luas bagi struktur masyarakat dan menyangkut pertanggungjawaban dunia akhirat, oleh karena itu perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah terbukti.

    Sehingga menjawab pertanyaan Anda, pisah meja dan tempat tidur/ scheiding van tafel en bed antara suami dan istri yang telah terjadi selama 1 tahun atau lebih bukanlah alasan perceraian. Namun, pisah ranjang dapat dijadikan indikator bahwa rumah tangga sudah pecah (broken marriage). Apabila Anda pada akhirnya memang ingin mengakhiri perkawinan, kami menyarankan agar Anda terlebih dahulu harus menentukan alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam PP 9/1975 maupun KHI.

    Baca juga: Alasan-Alasan Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
    5. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan;
    6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

    Referensi:

    Butje Tampi. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga Berdasarkan Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol. 2, No. 3, 2013.

     


    [1] Butje Tampi. Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga Berdasarkan Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lex Crimen, Vol. 2, No. 3, 2013, hal. 80

    TAGS

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua