Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?
Pidana

Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?

Bacaan 7 Menit

Pertanyaan

Saya pernah mendengar suatu berita bahwa ada orang gila yang berusaha memperkosa wanita di pinggir jalan. Tetapi wanita itu telah berhasil menyelamatkan diri dan yang ingin memperkosa ternyata orang gila. Apakah orang itu bisa dipidanakan?

Ulasan Lengkap

Terima kasih untuk pertanyaan Anda.

 

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami perlu jelaskan hal-hal berikut:

 

Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

a.    Alasan pembenarberarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);

b.    Alasan pemaafadalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).

 

Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP:

 

Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”

 

Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:

 

Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.

 

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:

a.    Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.

b.    Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.

 

Berdasarkan cerita Anda, orang gila tersebut hampir melakukan tindak pidana perkosaan yang mana dalam KUHP dikenal sebagai percobaan. Percobaan tindak pidana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

 

Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman bila si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri.”

 

R. Soesilo berpendapat menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu. Percobaan dapat dihukum apabila memenuhi syarat-syarat (hal. 68-69):

a.            niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu

b.            orang sudah memulai berbuat kejahatan itu

c.            perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian.

 

Anda menceritakan bahwa orang gila tersebut berusaha memperkosa wanita dan wanita tersebut berhasil melarikan diri. Ini berarti percobaan melakukan tindak pidana telah terjadi (memenuhi ketiga syarat di atas) dan KUHP menyatakan bahwa itu sudah masuk lingkup tindak pidana.

 

Dalam hal percobaan, maksimum hukuman adalah maksimum hukuman utama kejahatan dikurangi sepertiganya. Dengan demikian, orang yang melakukan percobaan tindak pidana tersebut dapat dipidana maksimum sebesar pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yakni penjara 12 tahun, dikurangi dengan sepertiga dari 12 tahun sehingga ancaman pidana maksimum untuk pelaku percoban perkosaan adalah:

 
12 tahun – 4 tahun = 8 tahun
 

Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin). Tetapi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat, hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa.

 

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hakim menjatuhkan putusan dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya perbuatan terdakwa atas dasar kuasanya dan dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa namun tidak terbatas saat di persidangan saja Pasal ini tidak menjelaskan keharusan dokter penyakit jiwa memberikan nasehatnya di persidangan. Jadi tidak heran bahwa dalam praktiknya nasehat dari dokter penyakit jiwa dapat didapat dari keterangannya di persidangan dan didapat juga dari surat medis dari rumah sakit tempat diperiksanya terdakwa.

 

Pada praktik di persidangan, mengenai pembuktian terganggu jiwanya seorang terdakwa berdasarkan keterangan ahli kejiwaan dapat kita jumpai dalam kasus seorang oknum militer yang melakukan tindak pidana pembunuhan. Sidang Mahkamah Militer mengadili terdakwa seorang sersan mayor polisi Polda Nusra yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga meninggal dunia. Berdasarkan keterangan saksi ahli Dokter Jiwa yang diuraikan dalam persidangan, ternyata terdakwa mengalami stress berat sehingga mengalami gangguan “amok” (suatu keadaan jiwa yang tidak sadar) waktu melakukan penembakan. Orang semacam ini telah terganggu pikiran sehatnya (ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh karena itu, ia tidak memiliki unsur kesalahan sehinggal Pasal 44 KUHP dapat diterapkan dalam kasus ini. Mahkamah Agung dalam putusannya No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988 menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepas dari segala tuntutan hukum.

 

Sementara, dalamPutusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005 informasi mengenai kondisi kejiwaan terdakwa bukan berasal dari keterangan ahli kejiwaan di persidangan. Dalam perkara tersebut, majelis hakim mendapatkan informasi mengenai status kejiwaan terdakwa berdasarkan Surat dari Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang kurang waras (kurang mampu berpikir secara baik). Berdasarkan pertimbangan itu, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi oleh karena terdakwa adalah orang kurang waras berdasarkan Surat dari Rumah Sakit tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 44 KUHP, terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana dan dilepas dari tuntutan hukum.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915

 
Putusan:

1.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005

2.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 33.K/Mil/1987

 
Referensi:

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

 
Tags: