Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Bank Ubah Jenis Pola Angsuran Kredit Secara Sepihak

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Jika Bank Ubah Jenis Pola Angsuran Kredit Secara Sepihak

Jika Bank Ubah Jenis Pola Angsuran Kredit Secara Sepihak
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Bank Ubah Jenis Pola Angsuran Kredit Secara Sepihak

PERTANYAAN

Saya adalah salah satu nasabah pada sebuah bank persero. Kami mengajukan kredit dan menandatangi kontrak kredit sejumlah uang dengan pola angsuran flat. Dalam masa angsuran berjalan, kami meminta rekening koran kredit dimaksud. Kami kaget ketika tahu pihak bank secara sepihak menggunakan pola angsuran anuitas (sudah tidak sesuai dengan kontrak kredit yg telah ditandatangani). Yang ingin kami konsultasikan adalah: 1. Apakah tindakan sepihak bank yang mengubah pola angsuran tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perbankan? 2. Perubahan sepihak ini secara hukum dikategorikan pidana/perdata? 3. Apakah dimungkinkan apabila kami untuk menempuh langkah hukum?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perjanjian kredit dibuat secara tertulis yang paling sedikit memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit atau pembiayaan, dan persyaratan kredit sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit.
     
    Sebelum membuat perjanjian kredit pun, dilakukan analisis kredit yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit pada setiap permohonan kredit.
     
    Jadi, perbuatan bank yang mengubah jenis pola angsuran kredit secara sepihak merupakan perbuatan wanprestasi atau cidera janji. Bila ditemukan dugaan dengan sengaja mengubah pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan ketika mengubah jenis pola angsuran ini, dapat dikatakan sebagai kejahatan perbankan.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pola Angsuran Flat dan Anuitas
    Dalam Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang kami akses dari laman Otoritas Jasa Keuangan, perhitungan bunga flat atau bunga rata biasanya diterapkan dalam skema pinjaman kredit konsumtif. Jangka waktu pinjaman yang menerapkan bunga flat biasanya produk kredit dengan jangka waktu pendek (hal. 23).
     
    Dalam pinjaman dengan skema bunga flat, besar cicilan dipatok sama selama tenor kredit atau jangka waktu pinjaman. Sedangkan bunga dihitung berdasarkan pokok utang keseluruhan, bukan memperhitungkan besar pokok utang yang sudah dibayarkan (hal. 23).
     
    Dalam rumus perhitungan bunga anuitas, besar cicilan setiap bulan akan bernilai sama. Akan tetapi, komposisi pokok pinjaman dan bunga utang akan berubah-ubah setiap bulan. Selama jangka waktu kredit, porsi bunga pinjaman akan dibebankan lebih banyak di awal-awal periode angsuran. Sedangkan porsi pembayaran pokok utang dibebankan lebih banyak di belakang (hal. 28).
     
    Berdasarkan uraian di atas, maka metode angsuran flat dengan anuitas memang berbeda. Untuk metode angsuran flat, pengembalian pokok dan bunganya sama setiap bulan, sedangkan metode angsuran anuitas, besar cicilan tiap bulan sama dengan komposisi cicilan pokok dan bunganya berubah-ubah.
     
    Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit dan Langkah Hukum
    Sebelumnya perlu Anda pahami terlebih dahulu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”).
     
    Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[1]
     
    Kami asumsikan bahwa bank yang memberikan kredit yang Anda maksud termasuk bank umum.[2]
     
    Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.[3]
     
    Bahkan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998 disebutkan:
     
    Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.
     
    Pemberian kredit ini dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.[4]
     
    Lebih lanjut, merujuk pada Lampiran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum (“POJK 42/2017”), menyebutkan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis (hal. 26).
     
    Perjanjian kredit tersebut ditetapkan oleh masing-masing bank dengan paling sedikit memperhatikan hal-hal sebagai berikut (hal. 26):
    1. memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank; dan
    2. memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit atau pembiayaan, dan persyaratan kredit atau pembiayaan lain sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit atau pembiayaan.
     
    Sehingga, dapat diartikan bahwa bank yang secara sepihak mengubah jenis pola angsuran kredit yang telah disepakati sebelumnya dalam perjanjian kredit, termasuk cidera janji atau wanprestasi.
     
    Hal ini mengingat bahwa sebelum dilakukannya pemberian kredit, telah dilakukan analisis kredit yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit pada setiap permohonan kredit.[5]
     
    Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, menerangkan bahwa wanprestasi (kelalaian/kealpaan) dapat berupa (hal. 45):
    1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
    2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
    3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
    4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
     
    Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menegaskan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
     
    Selanjutnya, Pasal 1243 KUH Perdata menerangkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
     
    Sehingga, Anda dapat mengajukan ganti biaya, kerugian, atau bunga setelah bank tetap saja lalai, padahal telah dinyatakan lalai melalui surat perintah atau akta sejenis itu atau berdasarkan perjanjian kredit itu sendiri.
     
    Kami sarankan kepada Anda untuk terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan dengan pihak bank ini secara kekeluargaan, sebelum memutuskan untuk menggugat secara perdata ke pengadilan.
     
    Kejahatan Perbankan
    Kejahatan perbankan dapat merujuk pada Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A UU 10/1998, dalam arti perbuatan-perbuatan tersebut akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekadar sebagai pelanggaran.[6]
     
    Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan.[7]
     
    Perubahan jenis pola angsuran kredit yang dilakukan dalam arti dengan sengaja mengubah pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, diklasifikasikan sebagai kejahatan perbankan, jika:
     
    Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang sengaja mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp10 miliar dan maksimal Rp200 miliar.[8]
     
    Terhadap perbuatan ini, Bank Indonesia juga dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank atau pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.[9]
     
    Sanksi administratif yang dimaksud, antara lain:[10]
    1. denda uang;
    2. teguran tertulis,
    3. penurunan tingkat kesehatan bank;
    4. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
    5. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
    6. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
    7. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    Referensi:
    1. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR), diakses pada 19 Juni 2020, pukul 13.39 WIB;
    2. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005.
     

    [1] Pasal 1 angka 11 UU 10/1998
    [2] Pasal 6 huruf b UU 10/1998
    [3] Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998
    [4] Penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a UU 10/1998
    [5] Lampiran POJK 42/2017, hal. 25
    [6] Pasal 51 ayat (1) UU 10/1998 dan penjelasannya
    [7] Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 10/1998
    [8] Pasal 49 ayat (1) huruf c UU 10/1998
    [9] Pasal 52 ayat (1) UU 10/1998
    [10] Pasal 52 ayat (2) UU 10/1998

    Tags

    perjanjian kredit
    perbankan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!