Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Lamaran Tak Mempengaruhi Keabsahan Perkawinan yang dibuat oleh Muhammad Raditio Jati Utomo & Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., Ph.D dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 28 Mei 2020.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait:
Syarat Sah Perkawinan
Untuk menjawab apakah nikah tanpa lamaran diperbolehkan, kami akan mengacu pada hukum perkawinan yang berlaku. Hukum perkawinan bagi pemeluk agama Islam di Indonesia mengacu sekurang-kurangnya pada dua ketentuan, yaitu UU Perkawinan dan Lampiran KHI.
Terkait hukum perkawinan, ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan menerangkan dua hal berikut.
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keyakinannya itu.
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan aturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan setiap perkawinan dikembalikan kepada hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, serta harus dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Khusus bagi pemeluk agama Islam, pengaturan lebih rinci mengenai bagaimana suatu perkawinan dapat dipandang sah diterangkan dalam Pasal 14 KHI. Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
- calon suami;
- calon istri;
- wali nikah;
- dua orang saksi; dan
- ijab dan kabul.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, sampai sejauh ini lamaran tidak dikenal sebagai syarat sah perkawinan menurut hukum Islam.
berita Terkait:
Kedudukan Lamaran dalam Perkawinan
Lebih lanjut, kedua sumber hukum yang menjadi rujukan ihwal perkawinan pemeluk agama Islam di Indonesia di atas tidak mengenal istilah ‘lamaran’.
Namun demikian, KHI mengenal istilah ‘peminangan’ yang maknanya paling mendekati istilah ‘lamaran’ yang Anda maksud.
Dalam KBBI, diterangkan bahwa istilah ‘meminang’ salah satunya dimaknai sebagai meminta seorang perempuan (untuk dijadikan istri) atau melamar. Sehingga, istilah ‘lamaran’ akan dipadankan dengan istilah ‘peminangan’ pada ulasan ini.
Menurut KHI sendiri, peminangan adalah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita.[1]
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.[2]
Namun harus diingat, dalam peminangan tetap berlaku sejumlah aturan. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa idahnya. Peminangan haram dilakukan terhadap:[3]
- wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah raj’iah;
- wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Kemudian, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 13 KHI, pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan; serta kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peminangan atau lamaran tidak memengaruhi keabsahan suatu perkawinan dalam bentuk apapun, pun tidak menimbulkan akibat hukum. Menurut hemat kami, perkawinan dapat dilangsungkan dengan atau tanpa lamaran.
Putusnya pinangan untuk pria sendiri, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam, di mana pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.[4]
Demikian jawaban dari kami terkait hukum nikah tanpa lamaran sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
KBBI, yang diakses pada 21 Maret 2023, pukul 10.34 WIB.
[1] Pasal 1 huruf a Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
[2] Pasal 11 KHI
[3] Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) KHI
[4] Pasal 12 ayat (4) KHI