Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Keabsahan Saksi Anak yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 18 Maret 2011.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
klinik Terkait :
Untuk menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenal tiga kategori anak yang berhadapan dengan hukum menurut UU SPPA, yaitu:[1]
- Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
- Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
- Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Keabsahan Keterangan Anak Saksi
Sebelumnya perlu dipahami bahwa keterangan saksi memiliki peran penting karena dapat menjadi salah satu alat bukti dalam pembuktian suatu tindak pidana. Untuk menentukan derajat nilai pembuktian dari keterangan saksi, seorang saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan.
Dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai saksi tindak pidana, UU SPPA menyebutnya dengan istilah anak saksi. Keterangan anak saksi sangat diperlukan, baik dalam proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan persidangan.
Pasal 1 angka 29 KUHAP menyebutkan keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Rekomendasi Berita :
Dengan demikian, KUHAP memberikan batasan yang lebih luas bahwa keterangan anak dapat dimaknai sebagai keterangan dari anak pelaku, anak korban, maupun anak saksi. Sedangkan UU SPPA mengatur lebih spesifik mengenai anak yang menjadi saksi dalam perkara pidana, yaitu yang mendengar, melihat, dan/atau mengalaminya sendiri.
Namun permasalahannya, bagaimana keabsahan keterangan anak saksi sebagai alat bukti? Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa untuk menentukan derajat nilai pembuktian keterangan saksi, maka saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.
Akan tetapi, Pasal 171 huruf a KUHAP justru mengatur sebagai berikut:
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam penjelasannya, keterangan anak di bawah umur dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, oleh sebab itu mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji, dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.[2]
Hal ini bersesuaian dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang menyatakan bahwa:
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterangan yang diberikan oleh anak saksi yang berusia kurang dari 15 tahun dan belum pernah kawin, bukan merupakan alat bukti keterangan saksi yang sah karena keterangan yang diberikan tersebut tidak disumpah, sehingga hanya dapat dipergunakan sebagai petunjuk, atau apabila keterangan itu memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah lainnya.
Patut diperhatikan, dengan dianutnya sistem pembuktian negatif sebagaimana tercantum Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Sehingga, dalam suatu pembuktian di persidangan nantinya dibutuhkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, dan tidak ada ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa salah satu alat bukti haruslah berupa keterangan saksi, sehingga baik penyidik maupun penuntut umum dapat melengkapi berkas perkara dengan dukungan alat bukti yang sah lainnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[1] Pasal 1 angka 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
[2] Penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana