Jika ada seorang karyawan melakukan pelanggaran, maka siapakah yang berhak memberikan Surat Peringatan berdasarkan UU Ketenagakerjaan? Apakah atasan langsung atau HRD, atau �Serikat Pekerja?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya surat Peringatan (“SP”) merupakan suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yang berupa SP kesatu, kedua dan ketiga.
Dalam UU Cipta Kerja, diatur bahwa pemberian SP diberikan kepada pekerja yang melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Lalu, siapa yang berwenang mengeluarkan SP tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 13 Oktober 2014, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 20 November 2020.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Ketentuan Surat Peringatan
Surat Peringatan (“SP”) merupakan suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yang berupa SP kesatu, kedua dan ketiga. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Maruli Tua, pengacara publik LBH Jakarta, dalam artikel Bank Bukopin Pecat Pengurus Serikat Pekerja.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam pengertian lain, SP adalah salah satu upaya untuk menghindari terjadinya PHK, karena dengan tindakan ini pengusaha tidak serta merta memutus hubungan kerja dengan buruh/pekerjanya. Adanya surat peringatan membantu agar PHK tidak terjadi secara mendadak, atau bahkan karyawan dapat memperbaiki kinerjanya dan mencapai standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.[1]
Secara historis, dasar dari pemberian SP ini sebelumnya memang diatur dalam Pasal 161 UU Ketenagakerjaan, namun pasal tersebut telah dihapus oleh Pasal 81 angka 53 Perppu Cipta Kerja.
Kini pemberian SP diatur dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. …
b …
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
Berdasarkan bunyi pasal di atas, penerbitan SP dilakukan secara berurutan dan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan, kecuali jika diatur berbeda dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Maka, SP pertama berlaku untuk jangka waktu 6 bulan. Apabila pekerja melakukan kembali pelanggaran dalam tenggang waktu 6 bulan tersebut, maka pengusaha dapat menerbitkan SP kedua, yang juga mempunyai masa berlaku selama 6 bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
Selanjutnya, apabila pekerja masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan SP ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 bulan, dan setelah itu jika dalam kurun waktu tersebut pekerja kembali melakukan pelanggaran, pengusaha dapat melakukan PHK.
Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa yang berwenang menerbitkan SP adalah pengusaha. Lalu siapa yang dimaksud pengusaha di sini? Apakah atasan langsung, bagian Human Resource Development (“HRD”), atau Serikat Pekerja?
Untuk menjawabnya, kami mengacu pada definisi pengusaha dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan, yaitu pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, yang dimaksud pengusaha di sini bisa jadi orang/persekutuan/badan hukum yang menjalankan perusahaan tempat Anda bekerja, baik ia memilikinya sendiri atau tidak, atau orang yang berwenang mewakili perusahaan jika perusahaan tersebut berkedudukan di luar negeri.
Akan tetapi, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat mengatur lain hal-hal yang berkaitan dengan pemberian SP. Artinya, dimungkinkan pula pengaturan mengenai bagaimana mekanisme penerbitan SP dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dengan kata lain, pengusaha dapat memberikan wewenang menerbitkan SP tersebut kepada atasan langsung dari pekerja yang melakukan pelanggaran atau bagian HRD jika hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang berlaku di perusahaan tersebut.
Akan tetapi, kami tidak memasukkan Serikat Pekerja sebagai pihak yang mungkin diberikan wewenang oleh pengusaha untuk menerbitkan SP, karena pada dasarnya tanggung jawab Serikat Pekerja adalah memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.[2]
Sebagai contoh kasus, kami merujuk kepada artikel Gara-gara SMS, Pekerja Ramayana Dipecat. Dalam artikel tersebut diberitakan bahwa seorang pegawai dipecat dari sebuah PT atas pesan pendek yang ia kirim yang berisi pernyataan bahwa perusahaan sedang goyah secara finansial. Isi SMS ini dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Tidak hanya itu, ia dipecat juga karena sebagai kasir salah memasukkan harga diskon kepada konsumen. Perusahaan memberikan SP kedua kepadanya (hal. 1). Dari contoh kasus ini, dapat diketahui bahwa perusahaan yang memberikan SP kepada pekerja yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini perusahaan bertindak sebagai pengusaha.
Sebagai contoh lain, dalam artikel Dipecat Tanpa Pesangon, Pekerja Garmen Menggugat, diceritakan pula bahwa pihak manajemen sebagai atasan pekerja yang di-PHK adalah pihak yang menerbitkan SP (hal. 2). Contoh ini kiranya menjelaskan bahwa SP tidak selalu diberikan oleh pengusaha saja, tetapi juga bisa oleh pihak manajemen perusahaan tersebut.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Dede Agus. Kedudukan Hukum Surat Peringatan (SP) dan Skorsing dalam Proses PHK Buruh/Pekerja. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 20, No. 2, 2020.
[1] Dede Agus. Kedudukan Hukum Surat Peringatan (SP) dan Skorsing dalam Proses PHK Buruh/Pekerja. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 20, No. 2, 2020, hal. 483