Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan

Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan

PERTANYAAN

Selamat pagi, apakah di dalam UU No 13 Tahun 2003 terdapat perubahan isi pasal atau isi ayat yang disebabkan oleh putusan MK? Jika memang ada, pasal berapa saja atau ayat berapa saja? Terima kasih.
                                      
 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Putusan-putusan MK yang Mengubah Aturan Ketenagakerjaan yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 29 Oktober 2012.
     
    Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
    Merujuk pada artikel Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru?, pada dasarnya, MK tidak dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat dalam undang-undang yang dimintakan pengujiannya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
     
    MK hanya memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujiannya.
     
    Tafsir Aturan UU Ketenagakerjaan oleh MK
    Di bawah ini kami sajikan informasi mengenai berbagai putusan MK berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 di mana permohonan pemohon dikabulkan:
     
    Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang menyatakan pasal-pasal berikut ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945 (hal. 115):
    1. Pasal 158 UU Ketenagakerjaan;
    2. Pasal 159 UU Ketenagakerjaan;
    3. Pasal 160 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… bukan atas pengaduan pengusaha …”;
    4. Pasal 170 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;
    5. Pasal 171 UU Ketenagakerjaan sepanjang menyangkut anak kalimat “… Pasal 158 ayat (1) …”;
    6. Pasal 186 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”.
     
    Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 yang menyatakan (hal. 55 – 56):
    1. Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
    2. Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang:
    1. frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka …”, dihapuskan sehingga berbunyi “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing masing serikat  pekerja/serikat buruh” dan
    2. ketentuan tersebut dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”.
     
    Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap (hal. 38 – 39).
     
    Keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan (hal. 46 – 47):
    1. frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan; dan
    2. frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan,
    bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
     
    Kelima, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu” (hal. 59).
     
    Keenam, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 25):
     
    Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu
     
    Ketujuh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 63 – 64).
     
    Kedelapan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 45):
     
    pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis
     
    Kesembilan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 yang menyatakan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 53 – 55):
     
    Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
    1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
    2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan
     
    Kesepuluh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 40).
     
    Kesebelas, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 yang menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 52).
     
    Jadi, putusan MK tidak untuk mengubah isi pasal atau ayat dalam undang-undang, termasuk UU Ketenagakerjaan, tetapi memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat dalam undang-undang yang diajukan pengujiannya terhadap UUD 1945 tersebut.
     
    Guna mempermudah pembaca dan pengguna Pusat Data Hukumonline, Hukumonline menyajikan peraturan konsolidasi untuk UU Ketenagakerjaan berupa naskah yang rapi, komprehensif, terkini, beserta putusan-putusan MK yang mengujinya dalam format yang nyaman dan mudah digunakan. Peraturan konsolidasi hanya dapat diakses oleh Pelanggan Professional Hukumonline.com, klik di sini untuk berlangganan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003;
     

    Tags

    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!