Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja?

Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja?

PERTANYAAN

Jika ada seorang karyawan melakukan pelanggaran, maka siapa yang berhak memberikan Surat Peringatan berdasarkan UU No.13 tahun 2003? Atasan langsung/HRD/HRD dan Serikat Pekerja?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Surat Peringatan (“SP”) merupakan suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yang berupa SP kesatu, kedua dan ketiga.
     
    Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diatur bahwa pemberian SP diberikan kepada pekerja yang melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Lalu, siapa yang berwenang mengeluarkan SP tersebut?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Siapa yang Berwenang Mengeluarkan Surat Peringatan Bagi Pekerja? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 13 Oktober 2014.
     
    Surat Peringatan (“SP”) merupakan suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yang berupa SP kesatu, kedua dan ketiga. Demikian antara lain yang dikatakan oleh Maruli Tua, pengacara publik LBH Jakarta, dalam artikel Bank Bukopin Pecat Pengurus Serikat Pekerja.
     
    Sebagaimana yang Anda tanyakan, dasar dari pemberian SP ini sebelumnya memang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), namun pasal tersebut telah dihapus oleh Pasal 81 angka 50 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).
     
    Adapun kini pemberian SP diatur dalam Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
     
    Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
     
    k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
     
    Dari bunyi pasal di atas, SP diterbitkan secara berurutan dan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali jika diatur berbeda dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.  
     
    Maka, SP pertama berlaku untuk jangka waktu 6 bulan. Apabila pekerja melakukan kembali pelanggaran dalam tenggang waktu 6 bulan tersebut, maka pengusaha dapat menerbitkan SP kedua, yang juga mempunyai masa berlaku selama 6 bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
     
    Apabila pekerja masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan SP ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 bulan, dan setelah itu jika dalam kurun waktu tersebut pekerja kembali melakukan pelanggaran, pengusaha dapat melakukan PHK.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa yang berwenang menerbitkan SP adalah pengusaha. Lalu siapa yang dimaksud pengusaha di sini? Apakah atasan langsung, bagian Human Resource Development (“HRD”), atau HRD dan Serikat Pekerja? Untuk menjawabnya, kami mengacu pada definisi pengusaha dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan:
     
    Pengusaha adalah:
    1. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
    2. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
    3. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
     
    Jadi, yang dimaksud pengusaha di sini bisa jadi orang/persekutuan/badan hukum yang menjalankan perusahaan tempat Anda bekerja, baik ia memilikinya sendiri atau tidak, atau orang yang berwenang mewakili perusahaan jika perusahaan tersebut berkedudukan di luar negeri.
     
    Akan tetapi, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat mengatur lain hal-hal yang berkaitan dengan pemberian SP.
     
    Ini artinya, dimungkinkan pula pengaturan mengenai bagaimana mekanisme penerbitan SP dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
     
    Dengan kata lain, pengusaha dapat memberikan wewenang menerbitkan SP tersebut kepada atasan langsung dari pekerja yang melakukan pelanggaran atau bagian HRD jika hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang berlaku di perusahaan tersebut.
     
    Kami tidak memasukkan Serikat Pekerja juga sebagai pihak yang mungkin diberikan wewenang oleh pengusaha untuk menerbitkan SP karena pada dasarnya tanggung jawab Serikat Pekerja adalah memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.[1]
     
    Sebagai contoh kasus, kami merujuk kepada artikel Gara-gara SMS, Pekerja Ramayana Dipecat. Dalam artikel tersebut diberitakan bahwa seorang pegawai dipecat dari PT Ramayana Lestari Sentosa (Ramayana) atas pesan pendek yang ia kirim yang berisi pernyataan bahwa perusahaan sedang goyah secara finansial. Isi SMS ini dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Tidak hanya itu, ia dipecat juga karena sebagai kasir salah memasukkan harga diskon kepada konsumen. Perusahaan memberikan SP kedua kepadanya (hal. 1). Dari contoh kasus ini dapat diketahui bahwa perusahaan lah yang memberikan SP kepada pekerja yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini perusahaan bertindak sebagai pengusaha.
     
    Sebagai contoh lain, dalam artikel Dipecat Tanpa Pesangon, Pekerja Garmen Menggugat diceritakan pula bahwa pihak manajemen sebagai atasan pekerja yang di-PHK yang menerbitkan SP. Pihak manajemen menyebut satu dari empat pekerja itu sudah diberi SP (hal 2). Contoh ini kiranya menjelaskan bahwa SP tidak selalu diberikan oleh pengusaha saja, tetapi juga bisa oleh pihak manajemen perusahaan tersebut.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
     

    [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

    Tags

    serikat buruh
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!