Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator

Mahkamah Konstitusi sebagai <i>Negative Legislator</i> dan <i>Positive Legislator</i>
Mohammad Fandi Denisatria, S.H.Lokataru Law and Human Rights Office
Lokataru Law and Human Rights Office
Bacaan 10 Menit
Mahkamah Konstitusi sebagai <i>Negative Legislator</i> dan <i>Positive Legislator</i>

PERTANYAAN

Adakah batasan-batasan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat Negative Legislator maupun yang bersifat Positive Legislator?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi (“MK”) bertindak sebagai Negative Legislator yang membatalkan norma dalam suatu undang-undang bila bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
     
    Namun, dalam perkembangannya MK juga bisa berperan sebagai Positive Legislator (pembuat undang-undang dengan merumuskan norma baru di dalamnya, yang hakikatnya peran ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah) dengan beberapa pertimbangan, antara lain untuk: melaksanakan kewajiban Hakim Konstitusi untuk mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat, mengisi kekosongan hukum, serta dalam rangka menguji konstitusionalitas norma.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:
     
     
    Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi (“MK”) bertindak sebagai Negative Legislator yang membatalkan norma dalam suatu undang-undang bila bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
     
    Namun, dalam perkembangannya MK juga bisa berperan sebagai Positive Legislator (pembuat undang-undang dengan merumuskan norma baru di dalamnya, yang hakikatnya peran ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah) dengan beberapa pertimbangan, antara lain untuk: melaksanakan kewajiban Hakim Konstitusi untuk mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat, mengisi kekosongan hukum, serta dalam rangka menguji konstitusionalitas norma.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Definisi Negative Legislator dan Positive Legislator
    Sebelum mengetahui sejauh apa pertimbangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam mengambil putusan yang bersifat negative legislator maupun positive legislator, penting untuk diketahui definisi dari keduanya.
     
    Menurut Moh. Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu (hal.280), negative legislator dapat dimaknai sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent UUD 1945 sebagai tolak ukurnya.[1]
     
    Masih dalam buku yang sama, Mahfud (hal. 280) menambahkan bahwa positive legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma.[2]
     
    Jadi dapat disimpulkan bahwa negative legislator adalah tindakan MK yang membatalkan norma yang ada dalam suatu undang-undang bila bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan positive legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada lembaga negara yaitu DPR dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma.
     
    Batasan MK Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator
    Untuk diketahui, MK dibentuk pada tahun 2003 melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) kemudian UU 24/2003 tersebut telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”) terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) yang mana Perpu 1/2013 ini ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
     
    Pada UU 24/2003 dan perubahannya tersebut tidak mengatur mengenai batasan-batasan dalam memutus perkara pengujian undang-undang oleh MK.
     
    Hal tersebut menyebabkan sering kali MK mengeluarkan putusan dalam perkara pengujian undang-undang melampaui kewenangannya sebagai negative legislator (membatalkan norma) dan membuat putusan-putusan yang mengambil alih fungsi legislasi atau pembuat undang-undang dengan merumuskan norma baru di dalamnya (positive legislator).
     
    Perlu diketahui bahwa perumusan norma undang-undang menurut sistem UUD 1945 didelegasikan kepada DPR bersama Presiden/Pemerintah[3] kemudian Mahkamah Konstitusi hanya bertugas menguji yakni antara lain dengan membatalkan suatu undang-undang apabila isi, materi, rumusan pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan norma-norma dalam Konstitusi.[4]
     
    Kemudian, sejak dikeluarkannya UU 8/2011 pada tanggal 20 Juli 2011, Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 mengatur secara jelas batasan-batasan mengenai putusan yang dapat diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 menyatakan:
     
    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
    1. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
    2. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
    3. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
     
    Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU 8/2011 berbunyi:
     
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
     
    Berdasarkan pasal tersebut, adapun tujuan dari rumusan pasal tersebut agar MK membatasi dirinya hanya sebagai pembatal norma dan tidak menempatkan dirinya sebagai perumus norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden/Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
     
    Namun, keberlakuan Pasal 57 ayat (2a) huruf c UU 8/2011 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 (“Putusan MK 48/2011”).
     
    Dalam pertimbangannya MK berpendapat ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas berdasarkan UUD 1945. Adanya pasal tersebut berakibat Mahkamah Konstitusi terhalang untuk:[5]
    1. Menguji konstitusionalitas norma.
    2. Mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan MK yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu proses pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut.
    3. Melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
     
    Jadi, dengan kata lain bahwa ternyata MK sendiri menyatakan dengan aturan mengenai pembatasan tersebut adalah inskonstitusional.
     
    Kemudian lebih lanjut Martitah dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature? (Jakarta, 2013) menyatakan terdapat beberapa pertimbangan bagi Hakim MK dalam mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator antara lain:
    1. Faktor keadilan dan kemanfaatan masyarakat;
    2. Situasi yang mendesak;
    3. Mengisi rechtvacuum untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat.
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011;
     
    Referensi:
    1. Dr. Martitah, M. Hum., Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature?, Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2013.
    2. Moh Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

    [1] Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 280
    [2] Ibid.
    [3] Pasal 20 UUD 1945 jo. Pasa 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
    [4] Pasal 10 UU 24/2003 jo. Pasal 57 ayat (1) UU 8/2011
    [5] Putusan MK 48/2011 hal. 94

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!