KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan AJB?

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan AJB?

Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan AJB?
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan AJB?

PERTANYAAN

Siapakah yang berwenang membuat akta jual beli tanah? Apakah penjual atau pembeli? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) bertugas membuat Akta Jual Beli (“AJB”) sebagai dasar pendaftaran tanah akibat jual beli. Jadi kewenangan untuk membuat AJB antara penjual-pembeli ialah PPAT dan ditandatangani oleh para pihak (penjual-pembeli).
     
    Lantas siapa yang menanggung biaya pembuatan AJB? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) bertugas membuat Akta Jual Beli (“AJB”) sebagai dasar pendaftaran tanah akibat jual beli. Jadi kewenangan untuk membuat AJB antara penjual-pembeli ialah PPAT dan ditandatangani oleh para pihak (penjual-pembeli).
     
    Lantas siapa yang menanggung biaya pembuatan AJB? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Akta Peralihan Hak Atas Tanah Dibuat oleh PPAT
    Pertama-tama tentang peralihan hak atas tanah (khususnya melalui jual beli) disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), yang berbunyi:
     
    Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
    Tetapi dalam keadaan tertentu orang-perorangan dapat mengalihakan hak atas tanah tanpa akta yang dibuat oleh PPAT sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 37 ayat (2) PP 24/1997:
     
    Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.
     
    Pengecualian terhadap ketentuan di atas perlu diberikan dalam keadaan tertentu yaitu untuk daerah-daerah yang terpencil dan belum ditunjuk PPAT Sementara, untuk memudahkan rakyat melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah.[1]
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa untuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli baru bisa terjadi (terdaftar) jika ada akta yang dibuat oleh PPAT.
     
    PPAT menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP 37/1998”) sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP 24/2016”) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
     
    Tugas PPAT dalam membuat akta disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) PP 37/1998 adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
     
    Perbuatan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:[2]
    1. jual beli;
    2. tukar menukar;
    3. hibah;
    4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
    5. pembagian hak bersama;
    6. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
    7. pemberian Hak Tanggungan;
    8. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
     
    Akta yang dibuat oleh PPAT dalam kegiatan jual beli tanah dikenal dengan sebutan Akta Jual Beli (“AJB”). Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Prosedur Menjual Rumah dengan Dasar PPJB, penandatanganan AJB dilakukan langsung oleh pembeli dengan penjual.
     
    Artinya memang setelah jual beli terjadi, dilakukan pembuatan AJB[3] untuk dijadikan dasar pendaftaran tanah dan beralihnya hak milik. Hak milik tersebut diwujudkan dalam bentuk sertifikat. Sertifikat sebagai bukti kepemilikan suatu tanah disebutkan urgensinya dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang berbunyi:
     
    Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
     
    Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.[4]
     
    Pihak yang Menanggung Biaya Pembuatan AJB
    Jika melihat mekanisme di atas, kewenangan untuk membuat AJB antara penjual-pembeli ialah PPAT dan ditandatangani oleh para pihak. Tetapi jika pertanyaan yang Anda maksud siapa yang berinisiasi mengajukan pembuatan AJB atau siapa yang menanggung biaya pembuatannya, jawabannya adalah tergantung kesepakatan penjual dan pembeli. Berikut penjelasannya:
     
    Perlu dipahami, bahwa pada dasarnya jual beli tanah dilakukan atas dasar perjanjian. Perjanjian yang dimaksud harus memenuhi empat syarat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), ialah:
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.
     
    Keempat syarat di atas harus dipenuhi oleh para pihak, tetapi harus diingat bahwa atas dasar kesepakatan perjanjian jual beli itu terjadi. Berarti menurut hemat kami, siapa yang membuat AJB ditentukan atas dasar kata sepakat. Sehingga kewajiban siapa yang menanggung biaya pembuatan AJB di PPAT telah disepakati bersama. Hal tersebut bisa salah satu pihak yang menanggung seluruhnya. Atau juga bisa keduanya sepakat untuk membayar biaya pembuatan AJB bersama.
     
    Mengenai biaya PPAT dalam dalam membuat AJB merujuk ke Pasal 32 ayat (1) PP 24/2016 yakni:
     
    Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta.
     
    Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal di atas.[5]
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     

    [1] Penjelasan Pasal 37 ayat (2) PP 24/1997
    [2] Pasal 2 ayat (2) PP 37/1998
    [3] Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Pengikatan Jual Beli dan Kuasa untuk Menjual, konsep dasar transaksi jual beli tanah adalah terang dan tunai. Terang, berarti dilakukan secara terbuka, jelas objek dan subjek pemilik, lengkap surat-surat serta bukti kepemilikannya. Tunai, berarti dibayar seketika dan sekaligus. Dibayarkan pajak-pajaknya, tanda tangan Akta Jual Beli, untuk kemudian diproses balik nama sertifikatnya. Namun, pada praktiknya, karena berbagai alasan, konsep terang dan tunai itu seringkali belum dapat dipenuhi. Belum terpenuhi, bukan berarti transaksi tidak bisa dilakukan, ada instrumen lain, yaitu dengan Akta Pengikatan Jual Beli (“PJB”) sebagai pengikat, sebagai tanda jadi transaksi jual beli tersebut, sambil menunggu yang belum beres. Belum terpenuhinya persyaratan untuk Akta Jual Beli, bisa jadi karena pembayaran belum lunas/dicicil, sertifikat masih dalam proses pemecahan atau proses lainnya, belum mampu membayar pajak, atau kondisi lainnya yang legal.
     
    [4] Penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997
    [5] Pasal 32 ayat (3) PP 24/2016

    Tags

    pertanahan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    21 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!