Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Pidana Penimbun Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Jerat Pidana Penimbun Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen

Jerat Pidana Penimbun Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jerat Pidana Penimbun Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen

PERTANYAAN

Apa hukumnya bagi mereka yang dengan sengaja menimbun obat-obat untuk penanganan COVID-19 dan tabung oksigen serta menjualnya dengan harga tidak masuk akal di masa-masa sulit seperti ini?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Untuk menyikapi kelonjakan harga obat terapi COVID-19 di pasaran akhir-akhir ini, Menteri Kesehatan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 Tahun 2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mengatur lebih lanjut mengenai harga eceran tertinggi (“HET”) obat terapi COVID-19.

    Sedangkan untuk oksigen, belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai harga tertinggi untuk oksigen yang juga mengalami kelangkaan dan kenaikan harga.

    Lalu, apa jerat hukum bagi pihak yang menimbun dan menjual dengan harga yang tidak wajar obat terapi COVID-19 dan oksigen di masa pandemi seperti ini?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Harga Eceran Tertinggi (“HET”) Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen

    Mengutip dari laman Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam artikelnya yang berjudul Kemenkes Menjamin Ketersediaan Obat Untuk Terapi COVID-19 disebutkan, Plt. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Arianti Anaya menjelaskan, dengan meningkatnya angka positif kasus COVID-19, harga obat yang dianggap potensial dan sudah dipakai dalam terapi COVID-19 tidak terkendali di pasaran yang disebabkan karena tingginya permintaan di masyarakat.

    KLINIK TERKAIT

    Bolehkah Memberikan SP Bagi Karyawan yang Sakit COVID-19?

    Bolehkah Memberikan SP Bagi Karyawan yang Sakit COVID-19?

    Masih dari laman yang sama, untuk menghindari kelangkaan obat terapi COVID-19, pemantauan akan terus dilakukan agar tidak terjadi penimbunan, sebab jika dihitung-hitung kebutuhan dengan stok harusnya cukup.

    Guna memantau ketersediaan obat terapi COVID-19 di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan menyediakan Farma Plus yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat. Melalui laman ini, masyarakat bisa mengetahui informasi terkait keberadaan stok obat terapi COVID-19 di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, dengan cukup memasukan daerah mana yang akan dicari.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Untuk menjamin keterjangkauan harga obat, kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 Tahun 2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan rincian pada bagian Lampiran sebagai berikut:

    No.

    Nama Obat

    Satuan

    HET (Rp)

    1

    Favipiravir 200 mg Tablet

    Tablet

    22.500

    2

    Remdesivir 100 mg Injeksi

    Vial

    510.000

    3

    Oseltamivir 75 mg Kapsul

    Kapsul

    26.000

    4

    Intravenous Immunoglobulin 5% 50 ml Infus

    Vial

    3.262.300

    5

    Intravenous Immunoglobulin 10% 25 ml Infus

    Vial

    3.965.000

    6

    Intravenous Immunoglobulin10% 50 ml Infus

    Vial

    6.174.900

    7

    Ivermectin 12 mg Tablet

    Tablet

    7.500

    8

    Tocilizumab 400 mg/20 ml Infus

    Vial

    5.710.000

    9

    Tocilizumab 80 mg/4 ml Infus

    Vial

    1.162.000

    10

    Azithromycin 500 mg Tablet

    Tablet

    1.700

    11

    Azithromycin 500 mg Infus

    Vial

    95.400

    Kemudian, sepanjang penelusuran kami, belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai HET untuk oksigen yang juga mengalami kelangkaan dan kenaikan harga.

    Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) melalui Siaran Pers KPPU Nomor 41/KPPU-PR/VII/2021KPPU Turut Awasi Pasokan Oksigen dan Obat COVID-19 di Masa PPKM Darurat menegaskan KPPU akan menginvestigasi berbagai pihak terkait, termasuk pelaku usaha yang dianggap terindikasi melakukan pelanggaran persaingan usaha yang dapat dijatuhi denda hingga 10% dari total penjualan produk tersebut.

    Sebagai tambahan informasi, disarikan dari KPPU Masih Temukan Kelangkaan Obat Terapi Covid-19, pengaturan HET obat banyak dikeluhkan oleh beberapa apotek dan toko farmasi. Hal ini dikarenakan penetapan HET yang berimplikasi kepada pembatasan margin yang relatif kecil, sehingga memberatkan bagi apotek atau toko farmasi di daerah. Beberapa apotek menyebutkan terjadi penurunan penyediaan obat-obat dikarenakan kecilnya margin yang tidak mencerminkan biaya serta resiko operasional yang dihadapi (hal. 1). Menanggapi fakta tersebut, KPPU memandang ada beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah. Pertama, reformulasi HET dengan penyesuaian margin yang wajar bagi pelaku farmasi ritel; Kedua, memberlakukan HET dengan menyediakan insentif, seperti subsidi untuk menutup sebagian biaya distribusi; dan Ketiga, tetap dengan besaran HET sekarang, tetapi dengan menggunakan jaringan apotek Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) dan/atau faskes pemerintah pusat dan daerah sebagai jalur utama distribusi dan penjualan obat-obatan yang dimaksud (hal. 2).

    Jerat Pidana Penimbun Obat Terapi COVID-19 dan Oksigen

    Menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana telah diberitakan oleh berbagai media, didapati temuan kasus penimbunan obat terapi COVID-19 dan oksigen di sejumlah daerah. Mengenai kelonjakan harga tidak wajar, pada dasarnya pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:[1]

    1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
    2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
    3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
    4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
    5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

    Menurut hemat kami, penawaran harga obat yang melampaui HET dapat dikatakan sebagai pernyataan yang menyesatkan tentang harga barang-barang tersebut.

    Bagi pelaku usaha yang melanggar, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[2]

    Selain itu, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta. Penetapan HET oleh pemerintah merupakan salah satu upaya menanggulangi wabah COVID-19, sehingga penimbunan yang menimbulkan kelangkaan dan penjualan dengan harga tak wajar yang menyusahkan akses masyarakat terhadap oksigen dan obat, merupakan perubatan yang menghalangi pelaksaan penanggulangan wabah. Dengan demikian, pelakunya berpotensi untuk dijerat dengan pasal tersebut.

    Selanjutnya, jika penimbunan tersebut dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, atau dilakukan dengan tidak memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pelaku diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.[3] Dalam hal tindak pidana ini dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana juga dapat dijatuhkan terhadap korporasi, yaitu berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda yang dimaksud.[4]

    Tak hanya denda, korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:[5]

    1. pencabutan izin usaha; dan/atau
    2. pencabutan status badan hukum.

    Jadi, demikianlah ancaman pidana yang berpotensi menjerat pihak yang menimbun dan menjual dengan harga yang tidak wajar obat terapi COVID-19 dan oksigen.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
    3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 Tahun 2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease2019 (COVID-19).

    Referensi:

    1. Farma Plus, diakses pada 6 Agustus 2021 pukul 19.00 WIB;
    2. Kemenkes Menjamin Ketersediaan Obat untuk Terapi COVID-19, diakses pada 6 Agustus 2021 pukul 18.57 WIB;
    3. KPPU Turut Awasi Pasokan Oksigen dan Obat COVID-19 di Masa PPKM Darurat, diakses pada 6 Agustus 2021 pukul 19.16 WIB.

    [1] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”)

    [2] Pasal 62 ayat (1) UU PK

    [3] Pasal 196 jo. Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)

    [4] Pasal 201 ayat (1) UU Kesehatan

    [5] Pasal 201 ayat (2) UU Kesehatan

    Tags

    kesehatan
    covid-19

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!