Belajar Memahami KUHP Baru dari Orang Dalam
Resensi

Belajar Memahami KUHP Baru dari Orang Dalam

Nulla lex satis commode omnibus est. Ada yang suka, ada yang keberatan.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Belajar Memahami KUHP Baru dari Orang Dalam
Hukumonline

Satu dua tahun ini adalah momentum yang pas untuk memperkuat literasi masyarakat terhadap hukum pidana nasional. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu hukum pidana nasional baru itu diberi judul adalah kesepakatan bersama wakil rakyat dan pemerintah, resmi berlaku 2 Januari 2026. Masih ada waktu lebih dari satu tahun lagi mempersiapkan diri.

Gaungnya sangat terasa di dunia akademis. Asosiasi pengajar hukum pidana dan kriminologi beberapa kali melakukan pelatihan, sosialisasi –atau dengan nama lain—Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Satu dua orang akademisi menuangkannya ke dalam buku agar literasinya menyasar lebih banyak warga. Akademisi dan praktisi hukum bukanlah kelompok eksklusif yang perlu memahami hukum baru ini. Masyarakat pada umumnya juga butuh agar paham atau lebih paham, terutama hal-hal baru yang diperkenalkan KUHP nasional.

Buku Hukum Pidana Indonesia Menurut KUHP & KUHP Baru, Dilengkapi dengan Asas, Yurisprudensi & Postular Latin (2024) karya Albert Aries termasuk ke dalam kategori yang disebut terakhir. Kapasitas Abe –begitu Albert Aries biasa dipanggil—dalam ilmu hukum khususnya pidana tidak perlu diragukan. Selaku akademisi, ia mengajar hukum pidana di kampus, dan seorang praktisi hukum (advokat).

Namun, latar belakangnya sebagai ‘orang dalam’ yang membuat tulisan ini terasa penting. Albert Aries termasuk salah seorang anggota tim pembahasan RUU KUHP, bahkan terbilang paling muda di antara sejumlah ahli pidana yang terlibat membahas. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, dalam Kata Pengantar buku ini, menyebut Albert Aries memiliki first-hand information mengenai suasana kebatinan dan suasana akademik yang menyelimuti pembahasan dokumen hukum ‘konstitusi’ hukum pidana nasional tersebut.

Baca juga:

Tidak mengherankan jika pembaca akan menemukan beberapa cerita dan pandangan dari para ahli pidana yang terlibat dalam proses penyusunan RUU KUHP selama bertahun-tahun. Prosesnya dimulai pada 1958, ketua dan anggota tim penyusun silih berganti. Ada dinamika selama proses penyusunan, hingga naskah RUU pertama kali diajukan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR pada 2012. Proses pembahasannya dilakukan intensif pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (hal. 5).

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Undang-Undang bukan usaha seperti membalik telapak tangan. Suatu masa, penolakan dari masyarakat sangat masif. Bukan hanya karena proses penyusunannya dianggap kurang transparan, tetapi sebagian substansinya dianggap bermasalah dan kontroversial. Sebagai jalan tengah, ada yang dihilangkan, tetapi ada juga yang ditambahkan. Saat penolakan besar-besaran, yang ditandai aksi demo, pemerintah mencatat belasan isu krusial. Isu-isu krusial itulah yang kemudian disaring kembali. Ketentuan pidana mengenai dokter tanpa izin, advokat curang, gelandangan, dan membiarkan unggas merusak kebun dihilangkan (hal. 6-7).

Tags:

Berita Terkait