Beragam Perubahan Signifikan dalam KUHP Baru
Utama

Beragam Perubahan Signifikan dalam KUHP Baru

Antara lain menghapus kategori kejahatan dan pelanggaran. Serta mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo. Foto: ADY
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo. Foto: ADY

Sejak pertama kali digagas perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 1963 silam, akhirnya pemerintah dan DPR berhasil melahirkan KUHP baru melalui UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP. Beragam dinamika proses perumusan dan pembahasan berujung pada sejumlah perubahan signifikan dari wetboek van strafrecht  menjadi KUHP baru.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan KUHP yang diterbitkan 2 Januari 2023 itu memuat perubahan signifikan ketimbang KUHP warisan Belanda. Misalnya, tidak ada lagi kategori ‘kejahatan’ dan ‘pelanggaran’. Selama ini konsep kejahatan sebagai rechtsdelict dan pelanggaran sebagai wetsdelict tidak diterapkan secara konsisten.

KUHP yang berlaku 3 tahun ke depan itu mengatur tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Perempuan yang disapa Prof Tuti itu mengatakan asas legalitas sebagaimana diatur pasal 1 ayat (1) KUHP tetap diakui. Sekaligus mengakui keberadaan living law sebagai dasar untuk memidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP.

Kendati mengakui living law, Prof Tuti menegaskan bukan berarti hukum adat langsung berubah menjadi hukum pidana. Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi antara lain hukum adat hanya berlaku di tempat hukum itu hidup. Ketentuan yang diatur dalam hukum adat tidak diatur dalam KUHP sehingga tidak ada duplikasi. Hukum adat itu juga harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, konstitusi tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui bangsa.

“Kalau ada delik hukum adat yang tidak sesuai dengan kriteria itu maka tidak boleh dilaksanakan,” kata Prof Tuti dalam kegiatan Forum Sosialisasi KUHP bertema ‘Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional’, Selasa (6/06/2023).

Baca juga:

Perempuan yang notabene anggota tim permusan Rancangan KUHP (RKUHP) dari pemerintah itu berpendapat, hukum adat yang berlaku harus ditetapkan terlebih dulu dalam Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian empiris. Ancaman sanksi untuk tindak pidana adat dibatasi besarannya yakni setara dengan denda kategori II dalam KUHP atau Rp10 juta.

Tags:

Berita Terkait