Lebih dari 320 anak sepanjang periode 2022-2023 menjadi korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) atau dikenal juga dengan Gagal Ginjal Akut. Korban yang tersebar di 27 provinsi itu sebagian meninggal, dan lainnya ada yang masih mendapat perawatan baik di RS atau rawat jalan. Berbagai pihak turun tangan menangani persoalan itu antara lain Komnas HAM yang melakukan pemantauan dan penyelidikan.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Hari Kurniawan, mengatakan temuan dari hasil pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan sedikitnya merekomendasikan 4 hal. Pertama, rekomendasi kepada Presiden untuk melakukan penanganan dan pemulihan korban. Upaya itu perlu dilakukan dengan mengakui bahwa negara melakukan pembiaran (tindakan tidak efektif), sehingga mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup dan hak atas kesehatan bagi sedikitnya 326 anak di Indonesia.
Presiden Joko Widodo harus memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban (penyintas) secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan. Serta jaminan kesehatan bagi korban sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis (trauma) dan dampak sosial ekonomi lainnya yang diakibatkan dari peristiwa yang telah menghilangkan 204 nyawa anak Indonesia.
“Penanganan dan pemulihan korban/keluarga korban dapat dilakukan dengan memberikan akses terhadap rehabilitasi dan kompensasi secara cepat dan jangka panjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Hari dalam konferensi pers, Sabtu (11/03/2023) pekan kemarin.
Baca juga:
- Melihat Hak Konsumen dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
- Advokat Sebut Ada Maladministrasi oleh BPOM dalam Kasus Gagal Ginjal Akut Anak
- Menjerat Korporasi Bidang Farmasi dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
Presiden dan jajarannya penting untuk segera melakukan penguatan regulasi dan tata kelola kelembagaan. Hari menyebut langkah yang bisa dilakukan, seperti mengevaluasi secara menyeluruh sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian. Terutama berkaitan dengan surveilans kesehatan dan sistem pengawasan.
Penguatan terhadap tata kelola kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) instansi pemerintah yang memiliki otoritas terkait pelayanan kesehatan dan pengawasan kefarmasian. Mengingat kerumitan dan tantangan persoalan kesehatan dan besarnya tanggung jawab dalam pengawasan obat dan makanan, Hari menegaskan hal itu harus diatur khusus dalam UU yang mengatur mandat dan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).