Apindo Mengaku Tak Terlibat Penerbitan Inpres Pengupahan
Berita

Apindo Mengaku Tak Terlibat Penerbitan Inpres Pengupahan

Hanya melaporkan kepada pemerintah apa yang terjadi di bidang ketenagakerjaan selama beberapa tahun terakhir.

ADY
Bacaan 2 Menit
Apindo Mengaku Tak Terlibat Penerbitan Inpres Pengupahan
Hukumonline

Ketua Umum DPN Apindo Sofyan Wanandi, mengatakan Apindo tidak terlibat dalam menerbitkan Inpres No.9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja. Sebelum Inpres itu diterbitkan, Sofyan mengaku Apindo hanya melaporkan perkembangan situasi ketenagakerjaan beberapa tahun kebelakang. Misalnya, ada kenaikan upah minimum yang nilainya dirasa cukup besar, terutama bagi sektor industri padat karya. Ujungnya, pemutusan hubungan kerja terjadi dan sebagian pengusaha ada yang hengkang ke daerah lain, bahkan ke luar negeri.

Menurut Sofyan kondisi itu meresahkan Apindo sehingga merasa perlu untuk melaporkannya kepada pemerintah. Mengacu situasi tersebut Sofyan menjelaskan ada dua hal yang menyebabkan pengusaha pindah ke tempat lain karena tidak dapat bersaing jika bertahan untuk berbisnis di Indonesia. Pertama, soal tingginya upah minimum dan yang kedua terkait peraturan tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal dengan sebutan outsourcing.

Sofyan memaparkan, di tengah upah minimum yang tergolong tinggi, sebagian pengusaha mengalihkan mekanisme produksi mereka dari mengandalkan tenaga kerja menjadi mesin otomatis atau robot. Misalnya sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu menggunakan satu mesin otomatis yang menggantikan 15 orang tenaga kerja. Contoh lainnya di perusahaan yang bergerak di bidang pengelasan, merumahkan sampai 385 pekerjanya karena peran para pekerja itu sudah digantikan dengan mesin otomatis.

Padahal, Sofyan melanjutkan Apindo mendorong agar industri padat karya berkembang di Indonesia sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Namun, hal itu bagi Sofyan sekarang cukup sulit dilakukan di tengah kondisi ketenagakerjaan, perekonomian Indonesia dan dunia yang ada saat ini dalam kondisi kurang menguntungkan pengusaha. “Pada enam bulan pertama sejak kenaikan upah minimum tahun lalu pengusaha mem-PHK 200 ribu pekerja,” katanya dalam diskusi di kantor Apindo Training Center di Jakarta, Kamis (10/10).

Setelah melaporkan kondisi tersebut kepada pemerintah yang intinya sebagian pengusaha industri padat karya berniat hengkang dari Indonesia, Sofyan merasa pemerintah meresponnya dengan menerbitkan Inpres Penetapan UMP. Walau begitu ia menekankan Inpres itu bukan ditujukan kepada pengusaha atau pekerja, melainkan aparat pemerintahan. Seperti Kementerian, Polri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Beberapa ketentuan yang termaktub dalam Inpres itu menurut Sofyan diantaranya suatu daerah yang upah minimumnya sudah mencapai kebutuhan hidup layak (KHL) maka kenaikan upah minimum dirundingkan antara pengusaha dan pekerja.

Dengan begitu, Sofyan berpendapat upah minimum hanya untuk jaring pengaman. Ia juga menjelaskan bahwa Inpres Penetapan UMP itu bukan ditujukan untuk mengintervensi pembahasan upah yang dilakukan dewan pengupahan. Malah, Inpres itu menurut Sofyan memperkuat peran dewan pengupahan dengan cara melibatkan BPS dalam survei KHL dan pemerintah akan menambah anggaran. Jika kebijakan itu terimplementasi, Sofyan berharap industri yang berbasis modal dan padat karya dapat tumbuh.

Selain itu soal industri padat karya Sofyan berharap agar pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian agar cermat mengkategorikan jenis-jenis industri padat karya yang nantinya dituangkan dalam regulasi. Sebab, industri padat karya lain seperti perusahaan yang memproduksi rokok lintingan, jamu dan kosmetik perlu dimasukan dalam kategori padat karya. Sehingga, sebagaimana Inpres Penetapan UMP, industri padat karya tertentu itu dibedakan upah minimumnya dari industri padat modal. “Kami minta Menteri Perindustrian untuk memperluas definisi padat karya,” ujarnya.

Sebelumnya, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Krisnadwipayana sekaligus mantan Dirjen Binawas Kemnakertrans, Payaman Simanjuntak, mengkritik keras Inpres Penetapan UMP. Menurutnya, pemerintah tidak memahami konsep pengupahan karena upah untuk industri padat karya dan modal dibedakan. Padahal, mekanisme pengupahan yang berlaku di negara lain tidak seperti itu. Sekalipun ada perbedaan seperti upah sektoral, besarnnya pun harus lebih tinggi ketimbang upah minimum. Sayangnya, lewat Inpres tersebut, upah minimum untuk industri padat karya dipatok lebih rendah dari industri pada umumnya.

Atas dasar itu Payaman mengimbau agar penetapan upah minimum menggunakan mekanisme yang sudah digunakan selama ini. Yaitu lewat pembahasan di dewan pengupahan dan kemudian ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota. “Isi dari Inpres itu tidak ada landasan hukumnya, jadi merumuskan konsep-konsep baru yang tidak ada di dalam UU,” katanya dalam diskusi di gedung Kemnakertrans Jakarta, Senin (7/10).

Tags: