Baik KUHP maupun Qanun Jinayah sama-sama mengatur bahwa pemerkosaan terjadi di luar perkawinan. Artinya, rumusan KUHP dan Qanun tak mengenal marital rape. Dari sisi pelaku, Qanun dan KUHP sama-sama memuat ancaman kepada siapapun (setiap orang, barangsiapa).
Bedanya, rumusan pemerkosaan dalam Qanun Jinayah 2014 memuat unsur ‘dengan sengaja’ melakukan pemerkosaan, sedangkan dalam Pasal 285 KUHP bagian inti deliknya justru ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan’ memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan dia. Jadi, perbuatan itu dilakukan dengan paksa sehingga perempuan tidak dapat melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan.
Berkaitan dengan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut, Andi Hamzah, dalam bukunya Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP menuliskan hukum pidana Indonesia dan Belanda tidak mengenal perkosaan tanpa kekerasan (non forcible rape).
Putusan PN Poso No. 27/Pid/1971 dikutip sebagai salah satu contoh putusan yang menafsirkan ‘kekerasan atau ancaman kekerasan’ itu. Dalam perkara ini hakim mengkualifikasi perbuatan ‘menarik badan, membanting ke tanah, memegang tangan korban kuat-kuat, menekan dagu, membuka celana korban, lalu memasukkan kemaluan’ sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Ancaman hukuman
Pasal 285 KUHP hanya memuat ancaman penjara maksimal 12 tahun bagi pelaku pemerkosaan. Beda dengan Qanun Jinayah yang memuat ancaman hukuman alternatif. Pilihan pertama adalah hukuman cambuk 100 sampai 150 kali; pilihan kedua denda antara 1.000 hingga 1.500 gram emas murni; dan pilihan ketiga penjara minimal 100 bulan dan maksimal 150 bulan.
Qanun mengenal pemerkosaan terhadap anak, dimana ancaman hukumannya lebih tinggi. KUHP juga mengenal perbuatan sejenis dalam Pasal 287 ayat (1) dengan ancaman hukuman lebih rendah (9 tahun) dibanding ancaman hukuman pemerkosaan (12 tahun). Cuma, Pasal 287 KUHP tak memuat unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Mengaku diperkosa
Lain dengan KUHP, Qanun Jinayah memuat ancaman pidana cambuk kepada orang yang mengaku diperkosa tetapi setelah diperiksa berdasarkan bukti-bukti, termasuk sumpah, pemerkosaan itu tidak terbukti.
Qanun Jinayah menyebutkan setiap orang yang mengaku diperkosa dapat mengajukan pengaduan kepada penyidik tentang orang yang memperkosanya dengan menyertakan alat bukti permulaan. Jika penyidik menemukan alat bukti tetapi tidak memadai, maka orang yang mengaku diperkosa dapat mengajukan sumpah sebagai alat bukti tambahan.
Orang yang menuduh telah diperkosa menandatangani kesediaan bersumpah. Tetapi jika di depan hakim ia menolak bersumpah padahal sudah meneken berita acara khusus sumpah di depan penyidik, maka orang tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana qadzaf (menuduh seseorang melakukan perbuatan zina tanpa didukung bukti yang cukup). Ancaman hukumannya maksimal 80 kali cambuk.