Enam Masukan untuk Penyusunan RUU KUHP
Berita

Enam Masukan untuk Penyusunan RUU KUHP

Perbuatan yang dikualifikasi tindak pidana dalam hukum internasional perlu dimasukkan ke dalam KUHP.

Mys
Bacaan 2 Menit
Enam Masukan untuk Penyusunan RUU KUHP
Hukumonline

Amnesti Internasional dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengajukan enam usulan atau rekomendasi yang perlu dimasukkan ke dalam RUU KUH Pidana. Masukan itu sudah disampaikan kedua lembaga kepada Komisi Hukum DPR yang kemungkinan akan menjadi tempat pembahasan RUU KUH Pidana kelak.

 

Dalam surat yang diteken Isabella Arradon, Peneliti Indonesia dan Timor Leste Program Asia Pasifik Amnesty International, dan Ricky Gunawan, Direktur Program LBH Masyarakat, kedua lembaga meminta Komisi III DPR menjadikan RUU KUH Pidana sebagai prioritas legislasi. Dalam pembahasan kelak, DPR perlu mempertimbangkan kaedah-kaedah hak asasi manusia yang sudah berkembang. Sehingga, materi KUHP nasional kela senafas dengan instrumen hak asasi manusia universal. Caranya antara lain mengakomodir ketentuan hak asasi manusia yang sudah diratifikasi Indonesia seperti Konvensi Menentang Penyiksaan, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

 

Berkaitan dengan itu, Amnesti Internasional dan LBH masyarakat mengajukan enam usulan kepada Komisi III yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Pertama, dalam pembahasan RUU KUHP kelak anggota Dewan memastikan bahwa penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia lainnya dikualifisir sebagai tindak pidana. Sesuai rekomendasi Komite PBB untuk Urusan Penyiksaan pada 2001 dan 2008, KUHP Indonesia perlu memuat definisi penyiksaan yang komprehensif sesuai dengan Konvensi Menentang Penyiksaan. Yang bisa dikualifisir sebagai tindak pidana antara lain penggunaan kekerasan yang tidak perlu atau eksesif, penyerangan, ancaman dan pembiaran yang disertai niat dan eksploitasi narapidana, serta hukuman yang kejam dan tidak manusiawi.

 

Kedua, menghapus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi berbasis jender dalam segala bentuknya. Amnesti dan LBH Masyarakat meminta agar pelaku pemerkosaan dalam pernikahan bisa dikriminalisasi pada KUH Pidana baru kelak. Kedua lembaga menyambut baik Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

Ketiga, Amnesti dan LBH Masyarakat meminta agar ketentuan yang mengkriminalisasi aborsi dicabut, sebaliknya membuka ruang pendidikan mengenai seksualitas dan reproduksi. Dekriminalisasi aborsi (pasal 346 – 349 KUHP) dinilai kedua lembaga sebagai langkah positif untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan. Aborsi yang tidak aman dan kelahiran yang tidak diinginkan menjadi beberapa penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Laporan Perkembangan Indonesia Mengenai Millenium Development Goals mencatat 11 persen dari angka kematian di Indonesia disebabkan praktik aborsi yang tidak aman.

 

Keempat, DPR dan Pemerintah harus mencabut rumusan KUHP yang mengekang kebebasan berekspresi. Amnesti sudah lama menyatakan keprihatinan atas ketentuan KUHP yang digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi di Indonesia. Banyak aktivis yang dipenjarakan berdasarkan pasal 106 KUHP. Amnesti dan LBH Masyarakatberharap ada keselarasan KUHP dengan standar internasional mengenai kebebasan berekspresi.

 

Kelima, ketentuan pidana pokok hukuman mati perlu dicabut atau dihilangkan. Ada kecenderungan global menghapuskan hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan. Saat ini, catat Amnesti dan LBH Masyarakat, tercatat 139 negara yang sudah menghapuskan hukuman mati secara hukum dan dalam praktik. Indonesia diminta ikut kecenderungan tersebut. Hukuman mati dianggap tidak menimbulkan efek jera. Hukuman mati juga mengandung potensi bahaya yang tidak dapat diperbaiki jika terjadi kesalahan penerapan hukum.

Tags:

Berita Terkait