Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif
Landmark Decisions 2017

Begini Cara Hakim Menambal Kelemahan Lembaga Fiktif Positif

Demi corrective justice, Mahkamah Agung menerobos sifat ‘final dan mengikat’ putusan PTUN atas permohonan Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan juncto Perma No. 5 Tahun 2015.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Salah satu perkara yang putusannya dimasukkan sebagai landmark decisions Mahkamah Agung Tahun 2017 adalah sengketa antara PT Coalindo Utama (Pemohon, Termohon Kasasi) dan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barito Timur (Termohon II, Turut Termohon PK) melawan Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah (Pemohon PK, Termohon I).

 

Awalnya, PT Coalindo Utama mengajukan permohonan melalui kuasa hukum kepada Kadis Pertambangan Kalimantan Tengah. Yang diminta adalah surat rekomendasi yang menyatakan perusahaan ini berstatus clear and clean (CnC) atas izin pertambangannya seluas 315 hektare (ha). Kepada Kadis Pertambangan dan Energi Barito Timur, pemohon meminta legalisasi semua dokumen perizinan perusahaan itu. Rupanya, legalisasi semua dokumen perizinan menjadi syarat mendapatkan clear and clean. Pemohon mendalilkan permohonannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangkaraya berdasarkan Pasal 53 UUAP tadi.

 

Pada 7 Juni 2016, PTUN Palangkaraya memutuskan permohonan pemohon dikabulkan dan mewajibkan Termohon untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan atau tindakan sesuai permohonan pemohon. Lantaran berada di pihak yang kalah, para Termohon menanggung secara renteng biaya perkara.

 

Kepala Kantor Dinas Pertambangan Kalimantan Tengah tak terima putusan itu, dan mengajukan permohonan PK setelah putusan PTUN Palangkaraya berkekuatan hukum tetap. Permohonan PK disertasi alasan-alasan peninjauan kembali, antara lain hakim judex facti telah khilaf dan keliru secara nyata menerapkan ketentuan UUAP, terutama berkenaan dengan rekomendasi clear and clean. Misalnya, berkaitan dengan penggunaan Pasal 53 UUAP. Berkaitan dengan status clear and clean ada aturan khusus yang berlaku yang diabaikan majelis yakni Peraturan Menteri ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Lagipula, majelis terlalu fokus pada masalah legalisasi dokumen, padahal permohonan pemohon berkaitan dengan rekomendasi clear and clean.

 

Di persidangan, Dinas Pertambangan Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Coalindo Utama tumpang tindih dengan perusahaan lain yang komoditasnya sama. Tetapi majelis PTUN menyatakan tumpang tindih WIUP tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak permohonan pemohon. Dalam memori PK, Dinas Pertambangan menunjukan bahwa salah satu kriteria kewilayahan izin-izin yang akan diberikan adalah tidak boleh tumpang tindih.

 

Pemohon PK juga menunjukkan sikap abai majelis terhadap alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

 

Pasal 16 Perma tersebut sebenarnya sudah menegaskan putusan PTUN bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan. Tetapi oleh Mahkamah Agung, permohonan PK dari Kepala Dinas Pertambangan Kalimantan Tengah telah dikabulkan, sebagaimana terungkap dalam putusan No. 175 PK/TUN/2016. Putusan ini menjadi salah satu landmark decision yang dipublikasikan Mahkamah Agung dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2017.

Tags:

Berita Terkait